AKSES DIBUKA, KEDAULATAN DITUTUP: TARIF TURUN, TAPI ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR


Oleh: Mujiman
Lulusan API 3 2025

Kabar terbaru dari Washington dan Jakarta mengabarkan bahwa Indonesia dan Amerika Serikat telah mencapai kesepakatan dagang baru. Dalam kesepakatan tersebut, Presiden AS Donald Trump memutuskan bahwa Indonesia akan dikenai tarif impor sebesar 19% atas produk-produk yang masuk ke pasar Amerika. Tarif ini lebih ringan dibandingkan ancaman sebelumnya yang mencapai 32%. Sekilas, ini tampak sebagai sebuah keberhasilan diplomasi.

Namun, tarif 19% itu bukan tanpa syarat. Dalam nota kesepahaman yang sama, Indonesia menyetujui pembelian produk-produk Amerika dalam jumlah besar. Mulai dari energi senilai 15 miliar dolar, komoditas agrikultur senilai 4,5 miliar dolar, hingga 50 unit pesawat Boeing. Tak hanya itu, Indonesia juga membuka akses yang lebih luas bagi investasi dan bisnis AS untuk masuk ke berbagai sektor dalam negeri, termasuk teknologi dan pertahanan.

Pemerintah dan beberapa pengamat menyambutnya dengan nada positif. Bank Indonesia menilai bahwa kesepakatan ini memberi “kepastian” bagi ekspor. Sementara Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menyebutnya sebagai langkah yang menunjukkan posisi tawar Indonesia yang “semakin kuat”.

Namun, benarkah kita berada di posisi yang diuntungkan?


Relasi Ekonomi yang Asimetris

Jika dicermati lebih dalam, yang terjadi bukanlah sebuah kemenangan diplomasi, melainkan bentuk nyata dari relasi ekonomi yang timpang dan menindas. Indonesia boleh saja menghindari tarif 32%, tetapi tetap harus membayar dengan konsesi besar-besaran kepada Amerika Serikat.

1. Tarif Tetap Merugikan Ekspor RI

Dengan tarif 19%, produk ekspor Indonesia (terutama tekstil, alas kaki, furnitur, dan produk agribisnis) akan mengalami penurunan daya saing di pasar Amerika. Bandingkan dengan negara-negara lain seperti Vietnam atau Meksiko yang mendapat perlakuan tarif lebih rendah, atau bahkan bebas tarif melalui perjanjian dagang bilateral maupun kawasan.

Artinya, eksportir Indonesia tetap akan kesulitan bersaing di pasar global. Beban ini pada akhirnya akan kembali kepada pelaku usaha kecil dan buruh, karena turunnya permintaan akan berimbas pada pemangkasan produksi, pengurangan tenaga kerja, atau stagnasi upah.

2. Pembelian Produk AS dan Ketergantungan

Komitmen untuk membeli produk energi dan pertanian dari AS tidak bisa dianggap sepele. Artinya, Indonesia akan mengucurkan miliaran dolar ke luar negeri hanya untuk membeli barang yang sebenarnya bisa diproduksi atau dikembangkan di dalam negeri.

Apakah kita kekurangan sumber energi? Tidak. Apakah kita tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan? Tidak juga. Maka, komitmen pembelian tersebut lebih mencerminkan penyerahan kedaulatan ekonomi, bukan efisiensi kebijakan.

Lebih buruk lagi, pembelian 50 pesawat Boeing berarti mengabaikan upaya membangun industri dirgantara lokal seperti PT Dirgantara Indonesia. Kita bukan hanya menjadi pasar, tetapi juga menjadi pembeli setia yang tidak diberi ruang untuk tumbuh.

3. Akses Investasi, Peluang atau Perangkap?

Kesepakatan ini juga membuka pintu lebih lebar bagi investasi Amerika ke berbagai sektor strategis di Indonesia. Ini terdengar menjanjikan, namun faktanya, banyak investasi asing justru lebih banyak menguras sumber daya, merugikan lingkungan, dan tidak mengembangkan kapasitas teknologi nasional.

Investasi bukan selalu berkah. Tanpa kontrol ideologis dan regulasi yang kuat, investasi asing bisa menjadi jalan bagi penguasaan ekonomi oleh korporasi multinasional, melemahkan pelaku usaha lokal, dan mengikis kedaulatan ekonomi bangsa.


Dampak Terhadap Rakyat

Kesepakatan ini bukan sekadar urusan diplomasi tingkat tinggi. Ia menyentuh langsung kehidupan rakyat. Mari kita lihat beberapa dampaknya:
  • Buruh sektor ekspor akan terdampak karena beban tarif menurunkan daya saing dan memaksa efisiensi biaya produksi.
  • Petani lokal akan kalah bersaing dengan produk pertanian Amerika yang disubsidi dan masuk dengan skema yang mudah.
  • UMKM lokal makin terhimpit oleh produk impor dan investasi raksasa yang menyapu pasar.
  • Penerimaan negara tetap rendah karena produk asing mengalir tanpa kontrol yang kuat.
  • Kedaulatan pangan dan energi menjadi semu karena Indonesia memilih menjadi pembeli, bukan pengelola sumber daya.
Artinya, meski ada kesan menang di atas kertas, rakyat tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.


Jalan Keluar dari Ketundukan Ekonomi

Islam memiliki sistem yang berdiri di atas asas kemandirian, keadilan, dan kedaulatan. Dalam sistem ekonomi Islam, negara tidak tunduk pada kekuatan asing, apalagi membuat perjanjian yang mengorbankan kepentingan umat.

1. Khilafah, Sistem Berdaulat Secara Ekonomi

Dalam sistem Khilafah Islamiyah, negara dipimpin oleh Khalifah yang berkewajiban menjaga kedaulatan penuh, termasuk dalam urusan ekonomi dan perdagangan internasional. Islam tidak membolehkan adanya perjanjian dagang yang merugikan umat, apalagi membuka akses total kepada negara kafir harbi fi’lan (yang memusuhi Islam).

Negara Khilafah akan mengontrol semua jalur perdagangan strategis: laut, udara, dan darat. Tarif dan bea impor dikenakan berdasarkan keadilan dan prinsip perlindungan industri dalam negeri, bukan atas dasar tekanan geopolitik.

2. Perdagangan Luar Negeri dalam Islam

Islam tidak mengharamkan perdagangan antarnegara, tetapi mengaturnya dengan cermat. Kebijakan ekspor-impor dalam Islam berpijak pada prinsip:
  • Tidak boleh merugikan umat Islam.
  • Tidak boleh menyebabkan dominasi asing.
  • Harus meningkatkan kesejahteraan internal.
  • Hanya dilakukan dengan negara yang tidak memusuhi Islam secara aktif.
Maka, dalam sistem Islam, kesepakatan seperti yang dibuat dengan Amerika hari ini tidak akan pernah terjadi. Negara Islam akan menolak membuka pasar dan membeli produk dari negara penjajah.

3. Pengelolaan Sumber Daya dan Industri

Dalam sistem Khilafah, energi, tambang, dan kekayaan alam adalah milik umum. Negara tidak boleh menjualnya kepada asing atau menyerahkan pengelolaannya. Seluruh hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat: layanan pendidikan, kesehatan, transportasi, dan infrastruktur.

Negara juga akan mengembangkan industri strategis secara mandiri, termasuk industri pesawat, pertahanan, dan pangan. Ini akan membangun ketahanan ekonomi jangka panjang yang tidak bergantung pada siapa pun.


Saatnya Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Kesepakatan tarif 19% antara AS dan Indonesia mungkin terdengar seperti kompromi yang cerdas. Namun kenyataannya, ini adalah bentuk lain dari ketundukan dan ketergantungan. Kita menukar sedikit kelonggaran tarif dengan pengorbanan besar atas kedaulatan nasional.

Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa masalah kita bukan pada siapa yang duduk di kursi presiden AS atau RI, tetapi pada sistem global yang menjadikan negara-negara berkembang hanya sebagai pasar dan ladang eksploitasi.

Satu-satunya jalan keluar adalah dengan meninggalkan sistem kapitalisme global dan kembali kepada sistem Islam yang paripurna. Islam bukan hanya agama spiritual, tapi juga sistem kehidupan, termasuk sistem ekonomi dan politik yang mandiri, adil, dan berkeadilan global.

Khilafah Islamiyah adalah keniscayaan sejarah dan kebutuhan masa depan. Dengannya, umat ini akan kembali berdiri tegak, bukan dengan tangan di bawah, tetapi dengan kepala tegak dan harga diri yang utuh.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar