
Oleh: Diaz
Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API)
Pagi itu, 19 Juli 2017, matahari Jakarta bersinar seperti biasa. Lalu lintas padat dan berita politik ramai seperti hari-hari sebelumnya. Namun, sebuah pengumuman dari pemerintah membuat banyak pihak tercekat: status Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) resmi dicabut. Dalam waktu singkat, HTI (sebuah organisasi dakwah Islam yang selama ini aktif menyuarakan bahaya neoliberalisme dan neoimperialisme) di-framing sebagai ancaman ideologis bagi bangsa.
“HTI anti-Pancasila,” begitu bunyi narasi yang berulang-ulang disuarakan media arus utama. Namun di balik propaganda itu, ada sesuatu yang lebih besar, lebih serius, dan lebih mengancam eksistensi negeri ini: neoimperialisme.
Neoliberalisme dan Neoimperialisme, Musuh Nyata yang Dibiarkan
Sejak awal kemunculannya, HTI telah konsisten memperingatkan masyarakat Indonesia akan ancaman global: liberalisasi ekonomi, privatisasi sumber daya, dan cengkeraman asing dalam berbagai lini kehidupan. Bukan tanpa alasan. Data menunjukkan, setidaknya 25 korporasi asing kini menguasai hajat hidup orang banyak di negeri ini, mulai dari tambang, lahan pertanian, hingga distribusi pangan dan energi.
Namun, alih-alih memperkuat benteng ideologis bangsa, negara justru terlihat membuka pintu selebar-lebarnya kepada arus bebas kapital asing. Kebijakan tarif impor 0% dari Amerika Serikat untuk komoditas strategis adalah contohnya. Di balik slogan “kerja sama dagang,” tersembunyi pola penjajahan gaya baru yang tak terlihat oleh kebanyakan mata: neoimperialisme.
Bila dulu penjajah datang dengan senjata dan kapal perang, kini mereka hadir lewat utang, kontrak dagang, dan penguasaan pasar. Bila dulu kita melawan dengan bambu runcing, kini kita bahkan tak sadar sedang dijajah.
Mereka Fitnah Karena Takut
HTI bukanlah ancaman. Justru mereka adalah satu dari sedikit suara yang masih lantang berbicara tentang penjajahan modern. Dalam sebuah diskusi di Senayan, hanya tiga hari sebelum pencabutan badan hukumnya, Juru Bicara HTI Ustadz Ismail Yusanto menegaskan, “Inilah tantangan kita yang sebenarnya, asing dan aseng. Dan kita menawarkan solusinya ke publik yakni dengan syariah Islam.”
Bukan kali pertama beliau mengatakan hal ini. Sejak awal 2000-an, HTI sudah menggagas seminar-seminar nasional tentang bahaya kapitalisme global. Mereka menyoroti ketimpangan ekonomi, kerusakan moral akibat budaya liberal, dan dominasi asing atas kebijakan strategis nasional. Semua itu dilakukan secara terbuka, konstitusional, dan ilmiah. Maka tuduhan anti-Pancasila itu (bagi mereka yang mengenal gerakan ini dengan jujur) jelas mengada-ada.
Yusril Ihza Mahendra, selaku kuasa hukum HTI, bahkan menegaskan bahwa tidak pernah ada putusan pengadilan yang menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang. “Atas dasar apa Anda menyebutkan bahwa HTI adalah organisasi terlarang. Apa maksud Anda menyamakan HTI dengan PKI. Kami akan bersikap tegas terkait hal ini,” tegasnya. Ia juga membandingkan: satu-satunya organisasi yang secara resmi dinyatakan terlarang dalam sejarah hukum Indonesia hanyalah PKI, melalui TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.
“Karena implikasinya sangat serius. Ketika dinyatakan terlarang, maka seolah-olah organisasi ini harus dimusnahkan dan dimusuhi. Padahal kan faktanya tidak seperti itu,” kata Ismail menambahkan.
Yang Terlarang Sebenarnya Bukan HTI, Tapi Penjajahan Itu Sendiri
Jika kita kembali pada konstitusi negeri ini, UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Maka pertanyaannya: siapa sebenarnya yang anti-konstitusi?
Apakah mereka yang menyerukan perlawanan terhadap neoimperialisme? Atau justru mereka yang membiarkan kekayaan alam negeri ini dijarah dan moral bangsa dirusak atas nama kebebasan dan pasar?
HTI mungkin kini tidak lagi memiliki badan hukum. Namun suara kebenaran tak butuh legalitas buatan manusia. Mereka tetap ada, tetap menyuarakan, dan tetap memperingatkan: bahwa negeri ini sedang dijajah kembali, bukan oleh senjata, tapi oleh sistem yang menghamba pada kapitalisme dan liberalisme global.
Islam Sebagai Ideologi Pembebas
HTI tidak datang dengan senjata. Mereka datang dengan gagasan dan dakwah. Yang mereka tawarkan sistem Islam sebagai solusi atas kerusakan ini. Sebuah sistem yang memuliakan manusia, menjaga sumber daya alam, melindungi moral generasi, dan berdiri independen tanpa tunduk pada tekanan negara adikuasa mana pun.
“Mengenai tantangan ideologi, justru kami menilai ancaman terbesar adalah ideologi, tantangan kita pada neoliberalisme dan neoimperialisme,” ungkap Ismail.
Kini, ketika neoliberalisme dan neoimperialisme kian mengakar, ketika kebijakan tarif impor 0% jadi bukti nyata keterjajahan itu, maka seruan HTI terdengar semakin relevan: sudah saatnya kita kembali pada ideologi Islam yang menolak segala bentuk penjajahan, baik yang lama maupun yang baru.
0 Komentar