GEN-Z BICARA PERUBAHAN, POTENSI BESAR KEBANGKITAN UMAT


Oleh: Aulia Zuriyati
Aktivis Muslimah

Beberapa hari lalu, aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai kota menampilkan fenomena baru: keterlibatan generasi muda, khususnya Gen-Z, dalam isu sosial, ekonomi, dan politik semakin menonjol. Mereka tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga aktif menyuarakan pendapat di media sosial, bahkan berani mengkritik kebijakan bangsa. Sejumlah psikolog menilai, Gen-Z memiliki mekanisme pertahanan diri yang unik, berbeda dengan generasi sebelumnya (Kompas, 05/09/2025).

Namun, keikutsertaan remaja dalam demonstrasi ini juga menyimpan sisi lain. Di satu sisi, itu bisa menjadi pengalaman berharga dalam menyuarakan pendapat. Di sisi lain, potensi mereka untuk terprovokasi cukup besar karena kontrol diri yang belum sepenuhnya matang (Inforemaja, 02/09/2025). Kasus di Bandung menjadi contohnya. Seorang siswa SMA harus dikeluarkan dari sekolah setelah membuat video tidak etis terkait aksi demo yang menimbulkan kontroversi publik (Kumparan, 01/09/2025).

Dari fakta ini, terlihat jelas bahwa Gen-Z memiliki potensi besar untuk membawa perubahan. Mereka sensitif terhadap masalah sosial, kreatif dalam memanfaatkan teknologi digital, dan bersemangat memperjuangkan hak-haknya. Namun, potensi itu perlu diarahkan. Jika tidak, mereka bisa mudah terjebak provokasi hingga menimbulkan kerugian, bukan hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas.

Pertanyaannya, apakah kita hanya membiarkan generasi muda belajar dari pengalaman pahit di lapangan, ataukah kita perlu memberikan arahan yang lebih jelas agar potensi mereka tersalurkan untuk kebaikan umat? Lalu, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab jika arah perjuangan mereka melenceng?

Realitas ini terjadi karena kita masih berada dalam dekapan sistem kapitalisme dan sekulerisme. Kapitalisme dengan jargon kebebasan individunya melahirkan generasi yang berani bersuara, tetapi kehilangan arah tujuan. Sementara sekulerisme yang mengusung netralitas justru gagal memberi ruang bagi agama sebagai penuntun kehidupan. Keduanya sama-sama menjauhkan manusia dari nilai-nilai ilahi yang hakiki.

Tak heran, sebagian anak muda menyampaikan pesan dengan cara yang salah: bertindak anarkis, membuat konten tak pantas demi sensasi, bahkan menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain. Jika dibiarkan tumbuh dalam sistem rusak semacam ini, harapan untuk perubahan umat tentu akan semakin pudar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ۝١٠٤
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali 'Imran [3]: 104)

Ayat ini menegaskan bahwa perjuangan sejati adalah perjuangan dalam koridor amar ma’ruf nahi munkar. Suara perubahan bukan sekadar teriakan emosional, tetapi dakwah yang mengajak kepada kebenaran.

Islam pun memberikan jalan yang jelas. Ia tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga menuntun agar potensi Gen-Z tersalurkan dengan benar. Dalam sistem Islam, negara berperan penting mendidik generasi muda. Pertama, dengan membangun fondasi akidah sejak dini agar mereka memahami tujuan hidup. Kedua, membentuk kepribadian berakhlak, bukan hanya berorientasi pada prestasi akademis, tetapi juga pada akhlak mulia, cinta ilmu, dan kepedulian sosial. Lingkungan keluarga dan masyarakat juga berperan, sementara negara menjadi penjamin arah pendidikan tersebut.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa kepedulian sosial harus diwujudkan dalam dakwah, bukan sekadar aksi emosional. Dengan dakwah, energi dan semangat Gen-Z dapat diarahkan menjadi kekuatan amar ma’ruf nahi munkar yang nyata, bukan sekadar konten viral atau gerakan tanpa arah yang dimanfaatkan pihak tertentu.

Karena itu, kita membutuhkan sistem yang mampu mengarahkan energi generasi muda kepada kebaikan. Hanya Islam yang dapat memberikan kerangka itu secara menyeluruh. Dengan sistem Islam yang kaffah, Gen-Z tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi benar-benar menjadi motor kebangkitan umat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar