
Oleh: Alia Salsa Rainna
Aktivis Dakwah
Persoalan sampah di perkotaan seakan tak pernah tuntas. Di Medan, misalnya, tumpukan sampah setinggi hampir 50 meter di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun, Marelan, menjadi bukti seriusnya krisis ini. Kondisi tersebut mendorong Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, turun langsung meninjau lokasi (Portal Medan, 08/09/2025).
Pemerintah Kota (Pemko) Medan menargetkan pengurangan sampah yang dibuang langsung ke TPA dengan membangun Tempat Pengolahan Sampah (TPS) 3R, yaitu reduce, reuse, recycle, dan mengaktifkan kembali Bank Sampah. Pemko juga menyiapkan kerja sama pembangunan Plant Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) serta penerapan sistem sanitary landfill untuk pengelolaan jangka panjang.
Saat ini, volume sampah yang masuk ke TPA mencapai sekitar 1.700 ton per hari. Melalui TPS 3R, sampah diharapkan dapat berkurang lewat proses reduksi, penggunaan kembali, dan daur ulang. Rico Waas juga mengajak masyarakat untuk menghidupkan Bank Sampah di setiap lingkungan sebagai langkah konkret pengurangan sampah.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa masalah sampah di Medan sudah berada pada tahap darurat. Namun, tanpa perubahan pola konsumsi, budaya masyarakat, dan konsistensi pengelolaan, persoalan serupa berpotensi terus berulang.
Fenomena TPA Terjun sejatinya mencerminkan persoalan struktural, yakni pola konsumsi masyarakat yang boros dan sistem pengelolaan sampah yang cenderung reaktif. Lebih dalam lagi, akar masalah ini tak lepas dari dominasi sistem ekonomi kapitalistik yang mendorong budaya konsumsi berlebihan, produksi massal, dan pola hidup instan tanpa kendali.
Selama fokus hanya pada mengolah sampah setelah menumpuk, sementara pola konsumsi yang dibentuk oleh sistem kapitalisme dibiarkan, akar masalah berupa budaya konsumsi berlebihan dan minimnya edukasi pemilahan sejak rumah tangga akan tetap tak tersentuh.
Di sisi lain, solusi berbasis teknologi seperti PSEL memang menjanjikan, tetapi membutuhkan biaya besar dan pengawasan ketat agar tidak menimbulkan dampak lingkungan baru. Tanpa transparansi dan partisipasi masyarakat, kebijakan canggih sekalipun bisa berubah menjadi proyek sesaat yang tidak menyentuh perubahan perilaku mendasar.
Lebih jauh, pengelolaan sampah juga terkait tata kelola kota dan keseriusan pemerintah dalam membangun sistem pengelolaan yang berkesinambungan. Tanpa kebijakan yang tegas, pembiayaan memadai, dan edukasi publik yang masif, program TPS 3R dan Bank Sampah sulit berjalan optimal.
Dalam pandangan Islam, pengelolaan lingkungan bukan semata urusan masyarakat, tetapi menjadi kewajiban negara. Seorang khalifah berkewajiban memastikan kota-kota tetap bersih, sehat, dan bebas dari pencemaran. Ini bagian dari tanggung jawab negara dalam mengurus rakyat.
Al-Qur’an menegaskan:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik...” (QS. Al-A‘raf: 56)
Ayat ini menjadi peringatan bahwa merusak lingkungan, termasuk menumpuk sampah hingga mencemari alam, adalah bentuk kerusakan yang dilarang.
Negara dalam sistem Islam memikul peran sentral dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Pemerintah tidak hanya menetapkan kebijakan teknis, tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengurangi konsumsi berlebihan, serta menanamkan kesadaran bahwa setiap aktivitas manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Edukasi ini diwujudkan melalui kurikulum pendidikan, khutbah, dan kampanye publik yang menekankan bahwa menjaga kebersihan serta mengelola sampah adalah bagian dari ibadah.
Selain itu, negara wajib menetapkan aturan tegas yang mencegah praktik merusak lingkungan, seperti pembuangan limbah sembarangan atau produksi barang sulit terurai, serta menegakkannya dengan sanksi yang memberi efek jera, sejalan dengan kaidah lā ḍarar wa lā ḍirār (tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain).
Dalam aspek teknis, negara mengatur pengelolaan dari hulu hingga hilir dengan perencanaan kota yang ramah lingkungan, penyediaan infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai, hingga pemanfaatan teknologi yang aman dan berkelanjutan. Semua kebijakan dilandaskan pada prinsip menjaga kemaslahatan dan mencegah mudarat, sebagaimana firman Allah:
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dengan penerapan syariat yang menyeluruh, bumi terjaga sebagai amanah Ilahi, dan masyarakat hidup dalam lingkungan yang sehat, bersih, serta selaras dengan fitrah ciptaan-Nya.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
0 Komentar