
Oleh: Sifi Nurul Islam
Muslimah Peduli Umat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperbarui jumlah korban terdampak banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Data terbaru sore ini menunjukkan bahwa sebanyak 836 orang dilaporkan meninggal dunia.
“Cut-off per pukul 16.00 WIB, saya laporkan bahwa hingga sore ini jumlah korban meninggal dunia bertambah menjadi 836 jiwa,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam konferensi pers Kamis (4/12/2025).
Jika dirincikan, sebanyak 325 orang meninggal di Aceh, dengan 170 orang masih hilang. Di Sumatera Utara tercatat 311 orang meninggal, dan di Sumatera Barat 200 orang meninggal.
Selain korban jiwa, kerusakan materi juga sangat besar. BNPB mencatat bahwa total rumah rusak akibat bencana di tiga provinsi tersebut mencapai 10.500 unit. Selain itu, terdapat 536 fasilitas umum rusak, 25 fasilitas kesehatan rusak, 326 fasilitas pendidikan rusak, 185 rumah ibadah rusak, dan 295 jembatan rusak. Angka ini menunjukkan besarnya kerusakan yang terjadi, tidak hanya pada individu, tetapi juga infrastruktur dan kehidupan masyarakat.
Kerusakan alam yang terjadi bukanlah fenomena alami semata, melainkan hasil dari kebijakan dan sistem yang diterapkan. Dalam sistem kapitalisme, alam diperlakukan sebagai komoditas yang dieksploitasi demi keuntungan. Eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara serampangan, tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Penebangan hutan besar-besaran, perluasan lahan perkebunan, aktivitas pertambangan, serta pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan, semuanya menjadi penyebab utama degradasi alam.
Deforestasi yang semakin masif menyebabkan hilangnya daerah resapan air, sehingga ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, banjir dan longsor menjadi tidak terhindarkan. Selain itu, polusi yang dihasilkan dari aktivitas industri dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil semakin memperparah kerusakan lingkungan dan mempercepat krisis iklim global. Sistem kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai prioritas tertinggi, sementara aspek lingkungan dan kemanusiaan hanya menjadi pertimbangan sekunder, bahkan sering kali diabaikan.
Dampak dari paradigma tersebut terlihat jelas hari ini. Perubahan iklim semakin ekstrem, bencana alam semakin sering terjadi, dan hilangnya keanekaragaman hayati semakin tidak dapat dibendung. Kerusakan ekosistem membuat keseimbangan alam terganggu, sementara manusia yang menjadi pelakunya kini juga menjadi korban dari perilaku merusak tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, Islam hadir bukan hanya sebagai ajaran spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang mengatur hubungan manusia dengan alam. Islam memandang manusia sebagai khalifah yang diberi amanah untuk menjaga bumi, bukan merusaknya. Larangan berlebih-lebihan, perintah menjaga lingkungan, serta prinsip keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah bukti bahwa Islam memiliki mekanisme pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan berpihak kepada kemaslahatan seluruh makhluk.
Islam juga memberikan solusi yang bersifat individu, sosial, dan sistemik. Individu diajarkan untuk menghindari pemborosan, menjaga kebersihan, menanam pohon, dan tidak merusak alam. Secara sosial dan sistemik, Islam menuntut negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan tidak menyerahkannya kepada korporasi, serta menetapkan sanksi bagi pihak yang merusak lingkungan. Sistem Islam (Khilafah) memastikan bahwa kebijakan terkait lingkungan bukan ditentukan oleh kepentingan kapital, melainkan oleh kebutuhan rakyat dan aturan Allah.
Kerusakan alam yang terjadi di Sumatera hari ini adalah alarm keras bahwa sistem yang diterapkan saat ini gagal menjaga keberlangsungan hidup manusia dan bumi. Sudah saatnya umat kembali mempertimbangkan sistem yang mampu mengatur manusia dan alam dengan adil dan seimbang, yaitu sistem Islam.
Wallahu’alam bisshawab.

0 Komentar