
Oleh: Ismiaty Nurfadilah
Penulis Lepas
Di era digital saat ini, ruang siber telah berkembang menjadi aspek penting dalam kehidupan sehari-hari dan tidak lagi sekadar tempat untuk berkomunikasi. Namun, meskipun menawarkan kenyamanan dan konektivitas, ruang siber juga membawa risiko yang signifikan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Peningkatan kasus eksploitasi anak, cyberbullying, kekerasan online berbasis gender, dan penyebaran konten yang merendahkan martabat manusia menunjukkan betapa pentingnya peran negara sebagai penjaga dan penjamin keamanan di ruang digital.
Dilansir dari laman Tempo, (11/07/2025) menurut Arifatul Choiri Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, media sosial dan perangkat elektronik merupakan penyebab utama kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Mengingat betapa banyaknya anak muda yang terpapar dunia digital tanpa pengawasan dan bimbingan yang memadai, ia mengatakan bahwa masalah ini menjadi kekhawatiran utama.
Menurut Arifatul, pola asuh dalam keluarga merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap tingginya angka kekerasan, selain dampak media sosial. Dia menjelaskan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Sejak 1 Januari hingga 20 Juni 2025, dilaporkan sebanyak 11.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Hingga 7 Juli 2025, angka tersebut terus meningkat menjadi 13.000 kasus.
Untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, Arifatul menekankan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak dapat bertindak sendiri. Untuk menyelesaikan masalah ini, kerja sama antar kementerian, lembaga dan masyarakat diperlukan.
Lemahnya Iman dan Literasi Digital yang Terbatas
Rendahnya tingkat literasi digital masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, merupakan salah satu penyebab utama masalah ini. Anak-anak tidak hanya terkena dampak kurangnya pengetahuan tentang penggunaan teknologi yang tepat, tetapi juga mengalami kurangnya benteng keimanan dalam diri mereka. Sayangnya, sistem pendidikan sekuler terlalu menekankan pada pengetahuan duniawi dan mengabaikan aspek spiritual dan moral.
Ini adalah salah satu dampak dari sistem sekuler-kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini seringkali mengabaikan kesejahteraan masyarakat, terutama anak-anak, demi keuntungan material di atas segalanya. Masalah etika, moral, dan keamanan digital tidak diprioritaskan selama pemerintah dan memperoleh keuntungan ekonomi dari digitalisasi.
Dominasi Asing dan Penguasaan Siber
Selain merugikan individu, ancaman dunia digital juga berdampak pada kedaulatan negara. Saat ini, perjuangan untuk mendominasi dunia berlangsung di arena baru yaitu dunia siber. Sangat mudah bagi kekuatan asing untuk mengendalikan negara-negara dengan infrastruktur digital yang lemah. Dengan kata lain, ketergantungan yang berlebihan pada teknologi asing dapat melemahkan suatu negara dan membuatnya lebih rentan dipengaruhi dalam berbagai kebijakan.
Solusi Islam: Negara sebagai Pelindung
Sebagai junnah (penjaga dan pelindung rakyat), negara dalam sistem Islam memegang peranan penting. Oleh karena itu, negara perlu mengembangkan sistem teknologi digitalnya sendiri yang tidak bergantung pada infrastruktur luar. Selain memastikan semua konten digital sesuai dengan norma syariah, negara juga harus menjamin ketersediaan pengetahuan yang sehat dan ruang siber yang bebas dari kekerasan, fitnah, dan pornografi.
Satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan mewujudkan sistem pemerintahan Islam yakni khilafah. Di bawah kepemimpinan Islam, Al-Qur’an dan As-sunnah menjadi panduan untuk kemajuan teknologi. Selain digunakan untuk tujuan duniawi, teknologi juga dapat digunakan untuk menjaga martabat manusia dan melindungi individu dari bahaya di dunia ini maupun di akhirat.
0 Komentar