
Oleh: Ai Siti
Muslimah Peduli Umat
Kementerian ATR/BPN menegaskan tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berpotensi diambil alih negara. Hal ini diatur dalam PP 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
Kepala Biro Humas dan Protokol ATR/BPN, Harison Mocodompis, menyampaikan bahwa tanah yang sengaja tidak diusahakan atau dipelihara akan diidentifikasi negara sebagai tanah telantar. Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis hak atas tanah: Hak Milik, HGU, HGB, HPL, dan Hak Pakai.
Pada umumnya, Hak Guna Usaha (HGU) dimanfaatkan untuk keperluan perkebunan, sedangkan Hak Guna Bangunan (HGB) digunakan untuk pembangunan perumahan, ruko, maupun pusat perbelanjaan. Jika tak ada aktivitas selama dua tahun, tanah akan diinventarisasi sebagai telantar. Bahkan tanah berstatus Hak Milik bisa kehilangan haknya bila dibiarkan hingga dikuasai pihak lain.
Konflik lahan kerap bermula dari tanah kosong yang dianggap tak bertuan. Namun, tanah dengan status Hak Milik jarang dibiarkan terbengkalai karena umumnya diwariskan secara turun-temurun dan memiliki kejelasan identitas kepemilikan.
Pemerintah mengklaim tidak serta-merta mengambil tanah. Pemilik akan diberi kesempatan menjelaskan. Jika tak ada alasan yang sah dan tidak ada pemanfaatan setelah tiga kali peringatan, tanah dapat diambil alih negara.
Sayangnya, semua ini terjadi dalam sistem kapitalisme yang menjadikan tanah sebagai komoditas, bukan sarana kesejahteraan. Harga tanah terus melambung, terutama di lokasi strategis. Mekanisme penertiban hanya tampak manis di permukaan, padahal di lapangan rakyat justru menjadi korban.
Obral HGU dan HGB kepada pengusaha besar sejak Orde Baru hingga kini terus berlangsung. Bahkan proyek strategis nasional (PSN) sering dijadikan dalih untuk mengambil alih lahan rakyat, meski proyek tersebut dijalankan oleh swasta. Negara yang semestinya melindungi rakyat justru menjadi fasilitator kepentingan pemodal.
Dengan orientasi politik yang pro investasi, negara menyediakan tanah demi membuka sirkulasi kapital. Kebijakan seperti Perpres 28/2018 tentang Reforma Agraria dan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi bukti bahwa tanah dijadikan instrumen akumulasi kapital.
Berbeda halnya dengan sistem Islam (Khilafah) sebagaimana dijelaskan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, di mana tanah dibagi menjadi tiga jenis kepemilikan: individu, umum, dan negara. Negara tidak boleh menetapkan tanah umum atau negara menjadi milik individu atas nama kemaslahatan, sebab syariatlah yang menjadi tolok ukur pengelolaan.
Kepemilikan individu diakui syariat dengan sebab-sebab seperti warisan, hibah, pemberian negara, atau ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati). Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari)
Hak milik ini dilindungi secara mutlak. Tidak boleh ada pihak, termasuk negara, yang merampasnya. Pelanggaran atasnya termasuk kezaliman yang bisa diajukan ke Mahkamah Mazalim.
Syekh Abdurrahman al-Maliki menegaskan, problem tanah bukan pada distribusinya, melainkan pada produktivitas. Hak atas tanah bisa dicabut apabila tanah tersebut dibiarkan tidak dimanfaatkan atau tidak digunakan untuk kegiatan produktif.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. berkata:
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَعَطَّلَهَا ثَلَاثَ سِنِينَ، لَا يُعَمِّرُهَا، فَعَمَّرَهَا غَيْرُهُ، فَهُوَ أَحَقُّ بها
"Siapa saja yang memiliki tanah lalu menelantarkannya selama tiga tahun, kemudian ada orang lain yang memanfaatkannya, maka orang tersebut lebih berhak atas tanah itu."
Ini adalah ijmak sahabat. Tanah yang dibiarkan terbengkalai selama lebih dari tiga tahun dapat diambil alih oleh negara dan diserahkan kepada kaum Muslim yang mampu mengelolanya.
Adapun tanah milik umum, seperti hutan, padang gembalaan, dan jalan raya, tidak boleh dimiliki individu tapi boleh dimanfaatkan oleh siapa saja. Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
"Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang penggembalaan, dan api." (HR Abu Dawud)
Sedangkan tanah milik negara adalah tanah yang dikelola untuk kepentingan umat. Negara boleh memproteksi lahan demi kepentingan jihad, pertanian, atau infrastruktur rakyat, namun tidak untuk dijual atau dikuasai swasta. Tujuan utamanya bukan mencari keuntungan, melainkan memberikan pelayanan (ri’ayah), mewujudkan kesejahteraan, dan meraih keberkahan.
Dengan demikian, sistem Islam dalam pengelolaan tanah sangat berbeda dengan kapitalisme. Dalam Islam, negara wajib tunduk pada syariat, bukan melayani kepentingan pemodal. Karena itu, selama sistem sekuler tetap dipertahankan, berbagai bentuk kezaliman akan terus terjadi berulang kali. Hanya dengan Khilafah Islamiyah-lah masalah pertanahan dapat terselesaikan secara adil dan tuntas.
Wallahu a‘lam bish-shawwab.
0 Komentar