
Oleh: Nunung Sulastri
Penulis Lepas
Presiden Prabowo menugaskan menteri terkait untuk menangani pengelolaan tanah terlantar sebagai bagian dari program 100 hari kerja Menteri ATR/Kepala BPN. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tanah terlantar?
Tanah terlantar adalah tanah hak, tanah hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan tidak dipelihara. Objek penertiban tanah ini meliputi:
- Tanah Hak Milik
- Tanah Hak Guna Bangunan (HGB)
- Tanah Hak Guna Usaha (HGU)
- Tanah Hak Pakai
- Tanah Hak Pengelolaan (HPL)
- Tanah yang diperoleh berdasarkan penguasaan atas tanah
Pada lahan dengan status HGU dan HGB, pemilik tanah wajib menyertakan proposal usaha, rencana bisnis, serta studi kelayakan saat pendaftaran. Selain itu, mereka juga berkewajiban memanfaatkan dan merawat lahannya agar tidak dikategorikan sebagai tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 dan PP Nomor 20 Tahun 2021, yang mengatur tentang penertiban serta pemanfaatan tanah dan kawasan yang terlantar.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan selama dua tahun berpotensi diambil alih oleh negara.
Menurut Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, tanah-tanah terlantar yang tidak diusahakan, tidak digunakan, dan tidak dipelihara sejak dua tahun sejak diterbitkannya hak, akan diidentifikasi oleh negara (Kompas, 16/07/2025).
Akibat kebijakan ini, banyak pihak menyatakan ketidaksetujuannya. Permasalahan lahan kerap berawal dari tanah kosong yang dianggap tidak jelas kepemilikannya lalu diambil alih oleh pihak lain. Tanah kosong yang dibiarkan tanpa pagar, bangunan, atau pemanfaatan, juga rawan diserobot.
Tanah, Komoditas Segelintir Elite
Saat ini, negara mengelola sumber daya tanah dengan pendekatan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, tanah diposisikan sebagai komoditas ekonomi karena dinilai sangat bernilai dan dapat menghasilkan keuntungan dari waktu ke waktu. Negara tidak lagi menganggap tanah sebagai amanah publik untuk kesejahteraan rakyat.
Faktanya, banyak tanah dalam skema HGU dan HGB dikuasai oleh korporasi besar. Bahkan, tanah terlantar pun kini berpotensi dialihkan kepada ormas dan pengusaha besar. Ironisnya, negara tidak segan mengambil alih lahan milik rakyat atas nama pembangunan infrastruktur dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Di sisi lain, rakyat kecil makin sulit mendapatkan lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang.
Padahal, negara seharusnya menjadi junnah (pelindung) bagi rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang-orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka ia akan mendapatkan pahala. Namun jika memerintahkan selain itu, maka ia akan menanggung dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayangnya, negara justru menjadi jembatan bagi kepentingan pemilik modal. Kebijakan penarikan tanah terlantar berpotensi besar menguntungkan elite oligarki, sementara rakyat terus menjadi korban kerakusan penguasa.
Pengelolaan Tanah Tak Jelas
Di sisi lain, banyak tanah negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru terbengkalai. Negara tampaknya tidak memiliki perencanaan matang dalam pemanfaatan lahan tersebut. Akibatnya, lahan-lahan ini rawan dikuasai oleh pengusaha yang difasilitasi oleh negara tanpa proses yang transparan.
Pengelolaan tanah pun kerap dikaitkan dengan ketersediaan anggaran APBN, seolah-olah tanah hanya bermanfaat jika bisa menghasilkan keuntungan finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan publik yang sangat penting dan semestinya tidak dijadikan komoditas ekonomi demi kepentingan penguasa atau pengusaha.
Semua ini terjadi karena negara menganut sistem kapitalisme, yang menjadikan asas manfaat sebagai dasar kebijakan, termasuk dalam penarikan tanah terlantar. Kebijakan ini pada akhirnya tunduk pada kepentingan investor dan bisnis, bukan rakyat.
Kepemilikan Tanah dalam Syariat Islam
Sistem Islam memiliki mekanisme pengelolaan tanah yang sangat berbeda. Dalam Khilafah Islamiyah, kepemilikan tanah dibagi menjadi tiga jenis:
- Kepemilikan Individu: Tanah yang dimiliki seseorang secara sah menurut syariat, baik melalui hasil usaha, warisan, hibah dari negara, atau perolehan tanpa kompensasi harta maupun tenaga.
- Kepemilikan Umum: Fasilitas publik yang tidak boleh dikuasai individu karena jika tidak ada akan menimbulkan sengketa, seperti padang penggembalaan, hutan, dan jalan umum.
Rasulullah ﷺ bersabda:اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
- Kepemilikan Negara: Negara memiliki hak untuk mengelola tanah tersebut dan boleh memberikannya kepada individu tertentu demi kemaslahatan umum. Negara juga wajib melindungi kepemilikan umum dari penyalahgunaan.
Dalam sistem Khilafah, negara tidak boleh menyerahkan tanah negara kepada individu atau swasta secara bebas. Negara akan mengelola tanah untuk proyek strategis yang menyentuh kebutuhan rakyat, seperti permukiman, pertanian, dan infrastruktur umum, bukan untuk dijual kepada asing atau korporasi.
Allah ﷻ berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Tujuan pengelolaan tanah dalam Islam bukanlah mencari keuntungan, tetapi menciptakan kesejahteraan dan keberkahan dari Allah ﷻ.
Penutup
Islam adalah satu-satunya solusi atas permasalahan tanah, termasuk tanah terlantar. Sistem Islam memiliki mekanisme adil dan tegas dalam pengelolaan tanah yang tidak menimbulkan kesengsaraan rakyat sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A'raf: 96)
Semoga kerinduan umat kepada tegaknya sistem Islam segera dikabulkan. Aamiin Allahumma aamiin.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
0 Komentar