
Oleh: Suci Musada, S.M.
Aktivis Muslimah
Apa gunanya gelar akademik jika ia digunakan untuk merendahkan, bukan mengangkat? Apa makna kampus yang megah jika di dalamnya tumbuh arogansi, bukan ilmu? Ketika suara mahasiswa dipatahkan oleh kata-kata melecehkan dari dosennya sendiri, dan rektorat memilih untuk diam, maka yang rusak bukan hanya hubungan antar insan akademik, tapi juga akar moral dari seluruh sistem pendidikan kita.
Senin, 21 Juli 2025, di tengah panasnya aspal di depan Gedung Rektorat Universitas Al-Azhar Medan, puluhan mahasiswa berdiri. Mereka bukan sekadar berdiri sebagai individu, tapi sebagai perwakilan nurani yang selama ini ditindas. Mereka menuntut keadilan atas pernyataan salah satu dosen Fakultas Hukum, Jarnawi Syahputra, yang dinilai melecehkan organisasi kemahasiswaan dan martabat mereka sebagai insan terdidik.
Mereka meminta permintaan maaf terbuka, tindakan dari rektorat, dan pembenahan atas sistem pengawasan etika dosen. Tapi hingga detik ini, tak ada satu pun suara resmi dari rektorat yang keluar. Yang ada hanyalah diam-diam yang membuktikan keberpihakan, bukan netralitas. (IN Nasional, 21/07/25)
Inilah buah busuk dunia pendidikan kita hari ini, tempat di mana struktur lebih dipertahankan daripada kebenaran, dan mahasiswa dianggap pengganggu stabilitas, bukan pemilik sah dari ruang akademik. Di balik gelar dan kurikulum, kampus hari ini banyak kehilangan jiwanya. Ia menjadi institusi yang menuhankan birokrasi, membungkam pemikiran murni, dan mengkerdilkan peran mahasiswa hanya sebagai pelengkap angka dan statistik.
Budaya beda kelas masih mencengkeram kampus-kampus kita. Dosen seolah raja kecil yang tidak boleh disentuh kritik, meski kata-katanya melukai. Mahasiswa dituntut patuh, tunduk, dan jangan banyak bertanya. Mereka yang bicara lantang dianggap pembangkang, bukan pemikir. Bahkan organisasi mahasiswa pun dicap sebagai beban, bukan mitra dalam membangun peradaban. Ini bukan lagi dunia akademik. Ini penjara intelektual.
Lebih menyakitkan lagi, pembiaran ini bukan tanpa alasan. Ia tumbuh dari sistem yang telah rusak sejak akar, sistem pendidikan sekuler yang memisahkan ilmu dari akhlak, dan kampus dari ruh tanggung jawab. Dalam sistem ini, dosen hanya dianggap penyampai materi, bukan pembina jiwa. Rektor hanya diposisikan sebagai manajer, bukan pengawal moral. Dan mahasiswa? Mereka adalah pelanggan, yang eksistensinya hanya diukur dari jumlah SKS dan nominal pembayaran.
Jika sistem ini terus dibiarkan, maka jangan harap kampus akan melahirkan pemimpin peradaban. Yang akan lahir adalah generasi cerdas secara teknis, namun lumpuh secara moral. Mereka bisa membuat makalah, tapi tak mampu menegakkan kebenaran. Mereka bisa menulis skripsi, tapi tak berani bersuara ketika tertindas. Karena mereka dididik untuk patuh, bukan untuk peduli.
Maka ketika mahasiswa berdiri lantang di depan rektorat, itu bukan sekadar aksi. Itu adalah jeritan bahwa sistem ini sedang gagal. Ketika rektor memilih bungkam, itu bukan sikap kehati-hatian. Itu adalah bentuk kompromi terhadap ketidakadilan. Dan ketika masyarakat diam, itu adalah tanda bahwa kita semua sedang perlahan terbiasa melihat kebenaran diinjak tanpa merasa marah.
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Medan telah membuktikan bahwa api nyala nurani belum sepenuhnya padam. Mereka tidak hanya menolak pelecehan, tapi juga melawan kebungkaman institusional. Pertanyaannya, apakah kita akan tetap diam dan membiarkan sistem ini terus membusuk? Ataukah kita berani berdiri, menyuarakan bahwa kampus bukan milik segelintir elit birokrat, tapi milik seluruh pencari kebenaran?
Karena kelak, sejarah tak akan bertanya siapa yang berpangkat. Ia hanya akan mengingat siapa yang pernah bersuara saat yang lain memilih membisu.
Dan hari ini, mahasiswa sudah bersuara. Maka biarkan gema mereka mengguncang dinding rektorat yang terlalu tebal untuk disentuh logika, tapi terlalu rapuh untuk menahan kebenaran.
Berbeda dengan Islam, dalam pandangan Islam, pendidikan adalah ibadah. Kampus adalah taman ilmu yang seharusnya melahirkan pemimpin peradaban, bukan budak pasar kerja. Dosen adalah pembimbing ruhiyah dan intelektual, bukan pemilik kuasa mutlak. Mahasiswa adalah generasi penegak kebenaran, bukan mesin penghafal materi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Namun, ilmu yang tidak dibarengi akhlak hanya akan melahirkan kesombongan. Islam sangat mengecam setiap bentuk arogansi dan pelecehan, terlebih di ruang ilmu.
Dalam sejarah Islam, ketika sahabat Bilal bin Rabah dilecehkan secara verbal oleh Abu Dzar al-Ghifari, Rasulullah ﷺ menegur keras:
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Sesungguhnya kamu masih memiliki sifat jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 30)
Ini adalah bukti bahwa dalam Islam, tidak ada ruang bagi ucapan yang merendahkan, bahkan dari seorang sahabat Nabi.
Islam tidak hanya menawarkan solusi personal, tapi sistemik. Dalam Islam, negara bertanggung jawab menjamin pendidikan yang membentuk akidah, akhlak, dan keilmuan. Pendidikan bukan hanya alat teknis, tetapi sarana melahirkan manusia yang bertakwa dan peduli terhadap umat.
Negara Islam dalam sejarahnya memberikan perhatian besar terhadap pendidikan. Guru dihormati, tapi juga diawasi. Mahasiswa dididik untuk berpikir kritis, bukan tunduk membuta. Kampus menjadi tempat membentuk tokoh perubahan, bukan sekadar pengumpul Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).
Wallaahua'lam bissawab
0 Komentar