NEGARA AMBIL ALIH TANAH TERLANTAR, AKANKAH DIKELOLA UNTUK RAKYAT?


Oleh: Yulia Putbuha
Penulis Lepas

Baru-baru ini, pemerintah menggaungkan kebijakan terkait pengambilalihan tanah terlantar. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan bahwa negara akan mengambil alih tanah terlantar yang tidak digunakan selama dua tahun. Dengan ketentuan, lahan yang sengaja tidak diusahakan, dimanfaatkan, digunakan, atau dipelihara oleh pemegang hak akan ditetapkan sebagai tanah terlantar. (Kompas, 18/07/25)

Ketentuan ini mencakup semua jenis hak atas tanah, yaitu: Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, maupun Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Jika tidak diusahakan secara aktif selama dua tahun sejak hak diberikan, maka lahan tersebut akan diambil alih oleh negara.


Kapitalisme Menjadikan Tanah sebagai Komoditas

Sekilas, kebijakan ini tampak menjanjikan, seolah-olah pemerintah tengah memulihkan fungsi tanah untuk kepentingan rakyat dan negara. Namun, pengambilalihan tanah justru rentan menjadi celah masuknya korporasi dengan dalih pembangunan, padahal tujuannya adalah meraup keuntungan.

Terlebih, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tanah dalam skema HGU dan HGB justru lebih banyak dikuasai oleh korporasi besar. Sementara itu, rakyat kecil justru kesulitan mendapatkan tempat tinggal, bertani, atau berdagang. Seharusnya negara berperan melindungi hak rakyat, bukan malah menjadi fasilitator kepentingan pemodal.

Di saat yang sama, banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru dibiarkan terbengkalai. Pemerintah pun tidak memiliki rencana yang jelas untuk memanfaatkannya. Hal ini bisa memicu penyalahgunaan atau pengelolaan yang tidak tepat sasaran. Bahkan, bukan tidak mungkin rakyat menjadi korban, sementara pengusaha justru diberi kemudahan dalam pengelolaan tanah.

Menjadikan tanah sebagai komoditas adalah kekeliruan besar, dan hal ini hanya terjadi dalam sistem kapitalisme. Sebab, kapitalisme menjadikan segala hal, termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor. Padahal, tanah seharusnya menjadi sumber kehidupan, di mana setiap rakyat memiliki hak untuk mengelolanya.


Kepemilikan Tanah dalam Khilafah

Tanah dalam sistem Khilafah merujuk pada bagaimana Islam mengatur kepemilikan tanah. Tanah adalah bagian dari harta yang diatur dalam tiga jenis kepemilikan: individu, negara, dan umum. Dalam kepemilikan individu, Khilafah membolehkan seseorang memiliki tanah untuk dikelola dan dimanfaatkan.

Ada beberapa cara memperoleh kepemilikan tanah dalam Khilafah, seperti melalui warisan, jual beli yang sah, hibah, dan membuka lahan mati. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, dari Sa’id ibn Zaid ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
Barang siapa menghidupkan tanah yang mati maka ia berhak memilikinya.

Adapun kepemilikan umum mencakup segala sesuatu yang diperuntukkan bagi kemaslahatan dan kemanfaatan umat, seperti fasilitas umum (jalan, jembatan, taman), serta sumber daya alam. Kepemilikan umum tidak dapat dialihkan menjadi kepemilikan individu, dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara sebagai wakil umat.

Kepemilikan negara mencakup gunung, bukit, padang pasir, lembah, pantai, dan tanah mati yang belum dikelola. Pengelolaannya menjadi wewenang negara. Khalifah boleh memberikan tanah-tanah tersebut kepada individu, atau memberikan hak guna maupun hak pemanfaatan kepada seseorang atau kelompok.

Sungguh jelas bagaimana Khilafah mengatur kepemilikan tanah. Dalam sistem ini, negara tidak bertindak sebagai fasilitator pemodal, melainkan sebagai pengatur dan pelayan umat. Khilafah tidak akan menjadikan tanah sebagai komoditas. Sebaliknya, ia menjaga agar distribusi tanah dan kekayaan lainnya tidak melahirkan ketimpangan dan kezaliman.

Namun, aturan Islam tidak bisa diterapkan dalam sistem kapitalis sekuler saat ini. Diperlukan institusi Khilafah agar seluruh aturan Islam bisa diterapkan secara menyeluruh.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar