
Oleh: Muhar
Sahabat Gudang Opini
Sekilas, kotoran kucing yang berserakan di jalanan pemukiman tampak seperti masalah sepele. Tak jarang kita hanya mengerutkan dahi, menutup hidung, lalu berlalu begitu saja. Namun, benarkah ini hanya soal sepele?
Nyatanya, di balik kotoran itu tersimpan potret buram dari kota yang tak lagi ramah. Tak hanya bagi manusia, bahkan bagi makhluk lain yang sekian lama hidup berdampingan dengan kita.
Setiap hari, tak sedikit warga yang mengeluhkan hal ini. Kotoran kucing tersebar di trotoar, pinggir jalan, selokan, bahkan halaman masjid dan musholla. Aromanya yang khas seringkali menyengat, mengiringi langkah-langkah kita menuju tempat kerja, rumah ibadah, atau sekadar warung tetangga.
Saya sendiri mengalami hal ini, hampir setiap hari. Baru keluar rumah, disuguhkan pemandangan kotoran kucing, kadang sampai terinjak tanpa sengaja. Di jalan menuju tempat kerja, di tempat ibadah (masjid/musholla), bahkan seringkali terlihat. Ini bukan sekali dua kali.
Apakah ini salah kucing? Atau salah manusia yang dianggap tak peduli? Mungkin tidak sesederhana itu.
Kucing Tak Lagi Punya Tempat
Masalah ini adalah refleksi dari krisis yang lebih dalam: kian hilangnya ruang terbuka di kota. Tanah kosong hampir punah. Lahan yang dulunya menjadi tempat alami bagi kucing untuk buang kotoran kini telah berubah fungsi menjadi bangunan bertingkat, pagar beton, atau sekadar dibiarkan terkunci.
Tak ada lagi tanah lapang yang ramah. Bahkan, sepetak lahan untuk menggali lubang kecil pun kini semakin langka bagi hewan liar. Maka, tak heran bila mereka terpaksa “menitipkan” hajatnya di tempat-tempat yang tidak layak.
Kapitalisme: Ketika Tanah Jadi Komoditas
Inilah buah dari sistem kapitalisme yang menempatkan tanah bukan sebagai amanah untuk kesejahteraan bersama, melainkan sebagai komoditas yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang punya uang dan kuasa.
Tanah dijual, dibeli, dikavling, dikunci, dan dieksploitasi tanpa peduli nilai sosial atau ekologisnya. Ruang terbuka semakin menyusut, sementara ruang privat melebar tanpa batas. Lahan-lahan kosong dikavling untuk investasi. Tak heran, kota semakin sesak, pengap, dan tak manusiawi, apalagi bagi binatang.
Krisis ini bukan sekadar soal urbanisasi, tapi soal paradigma. Paradigma yang memandang tanah bukan sebagai sarana hidup, tapi sebagai alat mencari untung.
Islam: Ketika Tanah adalah Amanah
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang tanah sebagai milik Allah ï·» yang harus dikelola untuk kepentingan seluruh makhluk, bukan dimonopoli segelintir orang.
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab memastikan distribusi lahan secara adil. Tanah mati (ardh mawat) wajib dihidupkan demi kemaslahatan umat. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita tanah luas yang dipagari orang kaya namun tak dimanfaatkan, lalu memberikannya kepada yang membutuhkan. Itulah konsep keadilan ruang dalam Islam.
Dengan sistem seperti ini, kota tak hanya tertata rapi, tetapi juga adil bagi manusia dan seluruh makhluk hidup.
Negara Wajib Hadir Menjaga Kebersihan
Dalam Islam, kebersihan adalah bagian dari iman. Membersihkan najis, termasuk kotoran hewan, bukan sekadar tanggung jawab individu, tetapi bagian dari ketaatan kepada Allah ï·».
Namun, tanggung jawab ini tidak bisa dipikul sendirian oleh warga. Negara harus hadir, bukan hanya untuk membersihkan, tetapi merancang tata kota yang sehat dan ramah bagi semua, termasuk bagi kucing yang tak berdosa itu.
Negara Islam tidak akan membiarkan tata ruang dikendalikan oleh kepentingan kapital semata. Ia hadir mengatur, mengelola, dan menjamin bahwa ruang hidup cukup bagi semua makhluk, bukan hanya bagi para pemilik modal.
Dari Kotoran Kucing Kita Belajar
Dari kotoran kucing yang berserakan, kita dapat mengambil ibrah (pelajaran), melihat bagaimana kapitalisme gagal menata kota dan menjamin kehidupan yang sehat, bersih, dan harmonis.
Sedangkan Islam, dengan syariahnya, akan memberikan solusi yang menyeluruh, mulai dari pengelolaan lahan hingga tanggung jawab negara dalam menciptakan lingkungan yang layak huni.
Maka, saatnya kita merenung, bila kotoran kucing saja tak teratasi karena salah kelola ruang, bagaimana dengan masalah sosial lain yang lebih besar?
Karena itu, sudah waktunya kita sadar dan kembali pada sistem dari Tuhan Yang Maha Adil, yaitu syariah Islam. Sejarah membuktikan bahwa syariah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah telah berhasil membawa rahmat serta mewujudkan kehidupan adil, sejahtera, dan penuh berkah tidak hanya bagi manusia, namun untuk seluruh mahluk-Nya.
0 Komentar