KRISIS KETENAGAKERJAAN, SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?


Oleh: Alma Zayyana
Penulis Lepas

Berkembangnya berbagai inovasi di semua sektor, terlebih industri, tidak menjamin naiknya angka kesejahteraan. Krisis tenaga kerja global ini terjadi, sebagai bukti konkret bahwa masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Hal tersebut dialami oleh beberapa negara besar, seperti Inggris, Prancis, AS, dan China. Mereka mengalami angka pengangguran yang kian mengkhawatirkan. Bahkan naiknya angka pengangguran menyebabkan muncul fenomena pura-pura kerja dan kerja tanpa digaji, tiada lain agar mereka dianggap bekerja. (CNBC Indonesia, 30/08/2025)

Begitu pula Indonesia sebagai negara berkembang juga mengalami hal yang serupa, bahkan angka pengangguran Indonesia mengungguli negara Asia lainnya. Tingginya harga kebutuhan pokok juga memperburuk kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tidak stabil. Walhasil, masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya karena tekanan inflasi. Parahnya lagi, angka pengangguran didominasi oleh anak muda. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini tidak diiringi dengan dibukanya lapangan kerja bagi anak muda.

Di sisi lain, anak muda Indonesia juga masuk kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training). Kondisi ini berisiko menutup peluang anak muda untuk naik kelas ekonomi, karena sektor jasa formal cenderung menutup kesempatan bagi mereka yang tidak memenuhi standar keterampilan pasar. Walhasil, anak muda mengalami frustrasi, ketika dirasa tidak punya kesempatan lagi.

Krisis ketenagakerjaan yang tidak rampung-rampung menandakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang diemban mayoritas negara gagal membuka lapangan kerja, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan mereka. Sekaligus, sistem juga gagal mendidik anak muda agar mencapai standar pasar baik dalam pendidikannya atau keterampilannya, karena sebuah keniscayaan, dengan berdirinya sistem kapitalisme terjadi ketimpangan kekayaan yang nyata.

Faktanya, di negeri Indonesia sendiri, menurut data Celios, kekayaan 50 orang Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Contoh ketimpangan ekonomi juga dapat dilihat di tata ruang beberapa daerah di Indonesia, kompleks perumahan-perumahan mewah berdampingan dengan perumahan-perumahan kumuh.

Negara yang seharusnya bertanggung jawab cenderung berlepas tangan dengan berbagai fakta kondisi ekonomi, terlebih tugas mereka dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Negara juga telah berusaha membuka lapangan pekerjaan melalui acara job fair, namun upaya ini belum mampu menyelesaikan masalah pengangguran secara menyeluruh, karena sektor industri sedang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Akibatnya, banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Selain itu, pemerintah juga mencoba mengarahkan anak-anak muda untuk mengikuti pendidikan vokasi, tetapi hal ini tidak menjamin mereka mudah mendapatkan pekerjaan. Buktinya, banyak lulusan vokasi yang masih menganggur. Secara umum, sistem ekonomi yang ada saat ini belum mampu mengatasi masalah-masalah besar, terutama dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, Islam amat memperhatikan keadaan umat, karena para pemimpinnya mengetahui apa tugas mereka sesungguhnya, yaitu sebagai ra'în (mengurusi dan meriayah) rakyat. Salah satunya, mereka serius dalam membuka lapangan pekerjaan karena sudah seharusnya masyarakat mempunyai pendapatan sendiri.

Contohnya, negara akan memfasilitasi seseorang secara cuma-cuma jika mereka ingin mengelola tanah. Tentunya, negara juga akan memberikan pendidikan yang mumpuni, sehingga mereka ahli di bidangnya. Negara juga akan memberikan modal bagi orang-orang yang membutuhkan untuk memulai usahanya, masih banyak lagi contoh usaha-usaha yang lain.

Tak ketinggalan, harta kekayaan juga sangat diperhatikan. Islam membagi harta menjadi tiga kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara. Negara tidak akan mengklaim kekayaan umum milik mereka, terlebih kepemilikan individu. Negara juga mengelola SDA secara mandiri sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja. Negara mengalokasikan hasilnya untuk semua masyarakat, tidak terkonsentrasi pada segelintir orang, dengan itu kesempatan korupsi akan dipersempit.

Sekaligus, negara memberlakukan sistem sanksi tegas bagi pihak yang mengambil harta bukan miliknya. Dengan ini, masyarakat tidak ingin melakukan hal serupa. Dengan banyaknya perhatian, negara Islam mampu mencetak generasi-generasi yang berkualitas, baik dalam pendidikan atau keterampilannya.

Wallâhu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar