
Oleh: Utari Komala
Aktivis Dakwah
Keracunan Makanan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di berbagai daerah, sebanyak 456 anak di Kabupaten Lebong, Bengkulu, mengalami keracunan usai menyantap menu makan bergizi gratis. (Kompas, 27-8-2025)
Sungguh ironi, kasus keracunan MBG yang terjadi di berbagai daerah di tengah upaya negara mengatasi persoalan gizi buruk dan stunting. Alih-alih menjadi solusi, MBG justru menambah deret panjang korban karena lemahnya sistem pengawasan dan orientasi kebijakan yang lebih condong pada pendekatan kapitalistik ketimbang pelayanan rakyat secara hakiki.
Gagalnya Sistem Pengawasan
Akibat dari kasus ini, puluhan siswa SD mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah, hingga diare setelah mengonsumsi makanan dari program MBG yang dibagikan oleh pihak sekolah. Beberapa anak bahkan harus dilarikan ke puskesmas untuk mendapat penanganan medis.
Dari uji laboratorium di Sragen, keracunan berasal dari sistem sanitasi lingkungan yang buruk dan juga makanan yang terkontaminasi atau tidak memenuhi standar kebersihan dan keamanan pangan. Prosedur pengadaan yang terburu-buru, vendor yang tidak lolos verifikasi ketat, hingga distribusi makanan yang tidak sesuai standar suhu dan waktu simpan, menjadi faktor utama pemicu keracunan ini.
Kepala BGN (Badan Gizi Nasional) menyampaikan keprihatinan dan menginstruksikan agar operasional Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) dihentikan sementara.
Lemahnya pengawasan dari hulu ke hilir memperlihatkan bahwa sistem yang digunakan saat ini belum mampu memastikan keamanan pangan, meskipun itu berasal dari program pemerintah. Tragisnya, korban dari kelalaian ini adalah anak-anak, generasi yang justru ingin diselamatkan dari malnutrisi.
Latar Belakang Program MBG
Program MBG sejatinya diluncurkan sebagai bagian dari strategi nasional untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia. Pemerintah menargetkan pemberian makanan bergizi secara gratis kepada siswa-siswa sekolah dasar, khususnya di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Anggaran besar telah disiapkan, dan rencana ambisius digulirkan. Namun, ketika pelaksanaannya berada di tangan sistem birokrasi yang masih korup, tidak profesional, serta cenderung membuka peluang bisnis bagi vendor-vendor makanan instan, maka tujuan mulia pun berubah menjadi ancaman.
Faktanya, banyak vendor dipilih bukan berdasarkan kapasitas dan standar higienis, melainkan karena kedekatan atau tender bisnis, yang menunjukkan bahwa program ini tidak steril dari kepentingan ekonomi. Ini menegaskan pula bahwa sekalipun programnya bertajuk "bergizi dan gratis", pelaksanaannya tetap tak lepas dari jeratan sistem kapitalisme.
Kapitalisme Gagal Menjamin Gizi Rakyat
Sistem kapitalisme memandang pelayanan publik, termasuk kesehatan dan pangan, sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Oleh sebab itu, dalam kapitalisme, negara sering kali hanya bertindak sebagai regulator, bukan penanggung jawab penuh atas kebutuhan pokok rakyatnya. Program-program sosial seperti MBG pun kerap dijalankan setengah hati.
Inilah akar masalahnya. Ketika gizi anak-anak ditangani oleh logika bisnis, di mana efisiensi biaya, margin keuntungan, dan tender menjadi pertimbangan utama, maka keselamatan dan kualitas pun kerap dikorbankan. Anak-anak hanya menjadi objek dari proyek besar, bukan subjek yang harus dipenuhi hak-haknya secara serius.
Dalam kerangka kapitalis, solusi terhadap gizi buruk lebih diarahkan pada pendekatan permukaan, seperti pembagian makanan, bantuan tunai, atau program subsidi. Sementara, akar struktural dari kemiskinan, rendahnya akses pendidikan, hingga buruknya sistem distribusi pangan, tidak disentuh secara mendasar. Wajar jika berbagai upaya perbaikan gizi berjalan stagnan bahkan kontraproduktif, seperti yang kita lihat pada kasus keracunan MBG ini.
Solusi Islam dalam Menjamin Gizi dan Kesehatan Masyarakat
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kesehatan dan pemenuhan gizi sebagai bagian dari hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam sistem pemerintahan Islam, negara adalah penanggung jawab utama (raa'in) dalam mengurus rakyat, bukan sekadar fasilitator.
Rasulullah ï·º bersabda:
اَÙ„ْØ¥ِÙ…َامُ عَÙ„َÙ‰ النَّاسِ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
"Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dia urus." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Islam tidak menyerahkan urusan penting seperti kesehatan, pendidikan, dan pangan kepada mekanisme pasar. Negara dalam sistem Islam akan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses kepada makanan bergizi, air bersih, dan layanan kesehatan yang memadai. Dalam Islam, sumber daya alam dan sektor-sektor strategis seperti pertanian dan industri pangan dikelola langsung oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak.
Negara dalam sistem Islam akan menjamin tersedianya makanan sehat dengan pengawasan ketat terhadap proses produksi dan distribusi pangan. Memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab atas keamanan makanan, dengan tenaga profesional dan sistem audit berlapis. Mendorong produksi makanan lokal berkualitas. Memberikan edukasi gizi kepada keluarga dan masyarakat berbasis akidah Islam, agar konsumsi tidak hanya sehat tetapi juga halal dan tayyib.
Dengan prinsip ini, Islam memastikan bahwa makanan tidak hanya halal dari sisi hukum, tapi juga baik secara kualitas, higienitas, dan gizi.
Saatnya Beralih ke Sistem yang Menjamin Kesejahteraan Hakiki
Kasus keracunan MBG bukan sekadar kelalaian teknis. Ia adalah bukti nyata gagalnya sistem kapitalisme dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat. Ketika proyek pangan dijadikan komoditas, maka tidak heran bila anak-anak justru menjadi korban. Masyarakat harus sadar bahwa perbaikan gizi dan kesehatan tidak bisa diserahkan pada sistem yang hanya mementingkan untung-rugi.
Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang meletakkan tanggung jawab pemimpin sebagai pelayan umat, bukan manajer proyek. Daulah Islamiah telah terbukti, selama lebih dari 13 abad mampu menyediakan jaminan pangan, gizi, dan kesehatan berkualitas bagi seluruh rakyat, muslim maupun non-muslim.
Pemerintah Islam mampu menjamin kesejahteraan semua rakyatnya, karena memiliki sumber pemasukan yang besar sesuai ketentuan syarak dan dikelola dengan sistem ekonomi Islam, seperti pengelolaan kepemilikan umum, contohnya gas, minyak bumi dan tambang juga sumber daya alam lainnya. Jizyah, kharaj, fa'i, dan zakat dikelola secara transparan untuk kepentingan umum.
Perubahan besar hanya mungkin terjadi jika kita mengganti paradigma sistem kapitalisme menuju sistem Islam kaffah. Sebab, hanya sistem Islam yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar