
Oleh: Lia Purwati
Penggiat Literasi Islam
Gaji Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kabarnya, anggota DPR mendapatkan berbagai macam tunjangan hingga seluruhnya mencapai Rp100 juta per bulan atau sekitar Rp3 juta per hari. Beredarnya berita tentang gaji DPR yang sangat fantastis ini benar-benar menyakiti hati rakyat. Hal ini sangat tidak layak di tengah sulitnya kondisi ekonomi masyarakat.
Bahkan, bagi sebagian anggota DPR, gaji Rp3 juta per hari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara rakyat biasa harus banting tulang dari pagi hingga petang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi bagi keluarganya. Pernyataan semacam ini sangat menyakiti hati seluruh rakyat, terutama rakyat kecil yang hanya mampu menghasilkan uang Rp10.000 per hari.
Dilansir dari Berita Satu, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Ahmad Nur Hidayat, menyatakan, “Saya kira kenaikan pendapatan DPR sampai menjadi Rp 100 juta per bulan ini menyakiti perasaan masyarakat secara umum ya,” (20/08/2025).
Wakil Rakyat, Mewakili Siapa?
Katanya, DPR adalah dewan yang mewakili aspirasi rakyat. Namun, kenyataannya banyak undang-undang (UU) yang disahkan DPR tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat. Contohnya saja UU KPK, UU Minerba, UU Perppu Cipta Kerja, dan lain sebagainya. Bahkan, banyak UU disahkan tanpa melibatkan aspirasi rakyat.
Seperti RUU TNI yang sudah dijadikan sebagai UU dan RUU Kementerian yang dirapatkan secara cepat. Kedua UU ini mendapatkan kritikan pedas dari masyarakat. Namun, yang katanya wakil rakyat tetap saja mengesahkannya. Jika semua UU yang disahkan bertentangan dengan kemaslahatan rakyat, maka wakil rakyat itu sebenarnya mewakili siapa?
Wajar jika saat ini rakyat marah kepada DPR. Gaji yang begitu besar sangat melukai hati rakyat kecil. Ditambah lagi dengan kinerja yang tidak memuaskan, membuat hati masyarakat semakin sakit. Para wakil rakyat itu seharusnya malu kepada rakyat. Sebab gaji yang mereka nikmati berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat. Seharusnya DPR benar-benar mewakili perasaan rakyat. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Ketika rakyat menolak RUU Cipta Kerja, DPR justru mengesahkannya menjadi UU. Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi kenyataannya tidak merakyat. Malah terkesan sebagai pengkhianat rakyat. Wakil rakyat difasilitasi negara, sedangkan rakyat biasa dipaksa mandiri oleh negara. Inilah kesenjangan sosial yang terjadi di dalam negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme.
Ulah Sistem Rusak
Sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan merupakan biang kerok kerusakan berbagai lini pemerintahan. Dengan terpisahnya agama dari kehidupan, para pejabat terlena dengan segala kenikmatan dunia yang fana. Sistem sekuler kapitalisme juga membentuk watak pejabat menjadi haus kekuasaan, tidak berempati kepada rakyat, dan bertindak semena-mena.
Kursi jabatan yang diduduki hanya menjadi alat untuk memanipulasi rakyat serta meraih kekayaan sebanyak-banyaknya. Seolah-olah gaji dengan tunjangan ratusan juta belum cukup, wakil rakyat masih kerap mengkhianati rakyat dengan cara mengorupsi dana negara. Sepanjang 2004–2024, KPK mencatat 385 anggota DPR/DPRD yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Itu yang terungkap, sedangkan yang tidak terungkap bisa jadi lebih banyak.
Inilah wajah asli sistem sekuler kapitalisme. Seperti yang baru-baru ini terjadi, rakyat bukan hanya ditindas, tetapi juga dilindas dengan kekuatan aparat. Di mana hati nurani pejabat yang katanya merakyat? Padahal, rakyat hanya ingin aspirasinya didengar dan diperlakukan layaknya manusia. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Para wakil rakyat duduk dengan tenang di dalam gedung mewah ber-AC, sementara di luar sana rakyat harus berpanas-panasan, berdesakan, bahkan rela terkena semprotan gas air mata hanya untuk menyampaikan aspirasinya.
Bagaimana Solusinya?
Dalam sistem Islam, wakil rakyat atau disebut Majelis Umat memiliki konsep yang jauh berbeda dengan DPR saat ini. Tugas Majelis Umat bukan membuat UU, melainkan mengawasi serta mengoreksi penguasa atas kebijakannya agar penguasa berintrospeksi terhadap kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan.
Majelis Umat merupakan salah satu struktur pemerintahan dalam negara Islam. Struktur tersebut terdiri dari tiga belas elemen, yaitu: Khalifah, Mu‘awin Tafwidh (pembantu Khalifah bidang pemerintahan), Mu‘awin Tanfidz (pembantu Khalifah bidang administrasi), Wali (gubernur), Amirul Jihad, Al-Amn ad-Dakhili (keamanan dalam negeri), Al-Kharijiyyah (urusan luar negeri), Ash-Shina‘ah (urusan industri), Al-Qadha (peradilan), Jihaz Idari/Mashalih an-Nas (aparat administrasi dalam berbagai bidang teknis, misalnya kehutanan dan pertanian), Baitul Mal (kas negara), Al-I‘lam (media massa), dan Majelis Umat.
Majelis Umat dipilih oleh masyarakat untuk menyampaikan pendapat tentang persoalan yang ada. Siapa saja boleh menjadi anggota Majelis Umat, bahkan non-Muslim sekalipun. Kebolehan non-Muslim menjadi anggota Majelis Umat hanya untuk menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa terhadap non-Muslim, buruknya penerapan syariat Islam kepada mereka, atau masalah pelayanan publik yang tidak tersedia.
Namun, non-Muslim tidak boleh menyampaikan pendapat terkait undang-undang. Sebab, undang-undang dalam Daulah Islam digali dari akidah Islam. Sementara non-Muslim memiliki akidah yang bertentangan dengan Islam, sehingga tidak bisa diambil pendapatnya dalam masalah perundang-undangan.
Majelis Umat memiliki dua tugas pokok:
- Bermusyawarah dengan Khalifah. Misalnya, jika Khalifah hendak memungut pajak, maka Khalifah bermusyawarah dengan Majelis Umat.
- Mengawasi Khalifah. Misalnya, jika Khalifah atau aparatnya menyalahgunakan kekuasaan, maka Majelis Umat dapat menyampaikan kritik.
Gaji yang diterima Majelis Umat berbeda jauh dengan DPR. Pejabat dan penguasa dalam negara Islam diberikan gaji layak sesuai kebutuhan hidupnya. Tidak bermewah-mewahan atau berfoya-foya dengan dana rakyat dan negara untuk urusan pribadi. Karena setiap pejabat hanya fokus menjalankan amanah dalam mengurusi urusan umat.
Dalam sistem Islam, negara akan senantiasa memperhatikan kebutuhan rakyatnya, bukan melayani kepentingan pribadi pejabat. Negara menerapkan kebijakan yang menyejahterakan rakyat serta memberikan keadilan yang sempurna. Sudah saatnya sistem Islam kembali ditegakkan untuk mewujudkan kehidupan yang aman, sejahtera, dan diridai Allah ï·».
Wallahu a‘lam bish-shawab.
0 Komentar