KATANYA SUDAH MERDEKA, KENYATAANNYA MASIH DIJAJAH?


Oleh: Alia Salsa Rainna
Aktivis Dakwah

Dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80, Polres Pelabuhan Belawan mengadakan kegiatan pembagian bendera merah putih di Jalan Belanak. Aksi ini bertujuan untuk meningkatkan semangat nasionalisme dan partisipasi masyarakat dalam perayaan kemerdekaan. Dengan membagikan bendera kepada warga, diharapkan suasana kemerdekaan semakin meriah dan rasa cinta tanah air semakin menguat, dikutip dari halaman Facebook Polres Pelabuhan Belawan, pada 16/08/2025.

Namun, di balik kemeriahan perayaan itu, muncul pertanyaan penting: Benarkah bangsa ini sudah merdeka sepenuhnya? Fakta menunjukkan, meski lebih dari delapan dekade menyandang status merdeka, rakyat Indonesia masih bergantung pada sistem ekonomi kapitalis global, utang luar negeri, serta kebijakan politik yang sering dikendalikan oleh kepentingan asing. Rakyat pun masih menghadapi kesulitan hidup, ketidakadilan hukum, dan jurang kesenjangan sosial yang lebar.

Inilah bukti bahwa kemerdekaan yang kita rayakan masih sebatas simbolik. Sistem sekuler yang dijadikan dasar pengaturan negara hanya membatasi kesatuan umat pada ikatan nasionalisme. Demokrasi yang katanya memberi ruang partisipasi rakyat, nyatanya lebih banyak menguntungkan elit politik dan pemilik modal. Rakyat hanya dijadikan objek untuk mendulang suara, sementara keputusan-keputusan penting tetap dipengaruhi oleh kepentingan asing dan korporasi besar. Wajar bila banyak persoalan bangsa tak kunjung selesai meski setiap tahun kita merayakan “kemerdekaan”.

Lebih jauh, penjajahan gaya baru justru semakin mengakar lewat regulasi dan kebijakan yang dirancang sesuai dengan kepentingan asing. Mulai dari eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan multinasional, ketergantungan pada investasi asing, hingga penjualan aset strategis negara. Semua ini mengikat Indonesia pada sistem kapitalisme global yang menjerat, sehingga kedaulatan ekonomi dan politik menjadi ilusi belaka.

Selain itu, penetrasi budaya dan pemikiran asing juga terus merusak identitas bangsa. Generasi muda diarahkan untuk lebih bangga meniru gaya hidup Barat ketimbang menghidupkan nilai-nilai luhur Islam. Inilah bentuk penjajahan nonfisik yang lebih berbahaya karena melemahkan kesadaran umat terhadap jati dirinya. Jika mentalitas generasi sudah terjajah, maka mudah bagi pihak asing untuk mengendalikan arah bangsa tanpa perlu angkat senjata.

Tak kalah penting, kriminalisasi terhadap dakwah Islam juga memperlihatkan bahwa kemerdekaan berpendapat masih terbatas. Suara-suara kritis yang mengajak kembali pada syariah dan menolak dominasi asing kerap dibungkam dengan alasan radikalisme. Padahal, ini adalah upaya sistemik untuk menjaga agar umat tetap berada dalam cengkeraman sistem sekuler dan tidak bangkit dengan Islam. Artinya, bangsa ini memang belum benar-benar merdeka dalam makna yang sesungguhnya.

Dalam Islam, kemerdekaan yang hakiki bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari penjajahan pemikiran, ekonomi, politik, dan budaya. Islam memandang kemerdekaan sejati adalah ketika manusia terbebas dari penghambaan kepada sesama manusia dan hanya tunduk kepada Allah ï·». Negara harus diatur dengan hukum Allah, menjaga kedaulatan politik, serta menghadirkan keadilan bagi seluruh umat.

Karena itu, peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi momen evaluasi: apakah sistem yang diterapkan saat ini sudah membawa kebaikan bagi umat, atau justru masih melanggengkan keterikatan pada asing? Islam menawarkan jalan keluar dengan sistem politik yang menempatkan akidah sebagai landasan, syariah sebagai aturan, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab kepada Allah ï·».

Dengan sistem Islam sebagai institusi politik, umat dapat merasakan kemerdekaan yang hakiki, terbebas dari dominasi asing, mandiri secara ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian Islam dalam budaya.

Wallaahu'alam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar