GAJI MINIM, BEBAN MAKSIMAL: SUDAH SAATNYA KEMBALI KE SISTEM ISLAM


Oleh: Ummu Hanif Haidar
Penulis Lepas

Ratusan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Tulungagung mendatangi DPRD pada 19 Agustus 2025 untuk menuntut kenaikan Alokasi Dana Desa (ADD) dari 10% menjadi 13% guna meningkatkan kesejahteraan, karena gaji mereka saat ini hanya Rp2.155.000, di bawah UMK, serta untuk memperkuat operasional desa, insentif lembaga desa, dan jaminan sosial seperti BPJS. (AJTTV, 19/08/2025).

Gaji perangkat desa di bawah UMK menunjukkan ketimpangan yang berdampak pada daya beli dan kesejahteraan. Gaji yang rendah bisa menurunkan semangat kerja dan kualitas pelayanan publik di tingkat desa. Apakah penghasilan perangkat desa bisa dikaitkan dengan prinsip upah layak menurut UU Ketenagakerjaan?

Upah layak sejatinya merupakan hak fundamental setiap pekerja. Prinsip ini ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Dengan demikian, isu rendahnya gaji perangkat desa dapat dipahami bukan sekadar persoalan teknis administrasi atau anggaran, melainkan juga menyentuh aspek konstitusional yang menjamin kesejahteraan rakyat.

Apabila penghasilan perangkat desa berada jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak, hal ini berpotensi melanggar amanat konstitusi sekaligus bertentangan dengan semangat UU Ketenagakerjaan yang menekankan pentingnya pemberian upah yang adil dan manusiawi.

Meski perangkat desa bukanlah pegawai negeri, tetapi mereka adalah penyelenggara pemerintahan desa. Negara wajib menjamin kesejahteraan hidup mereka.

Kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh setiap pekerja untuk hidup layak mencakup berbagai aspek dasar, antara lain kebutuhan pangan seperti makanan dan minuman bergizi, sandang berupa pakaian dan alas kaki, serta papan yang meliputi tempat tinggal, listrik, dan air. Selain itu, pekerja juga memerlukan transportasi untuk mobilitas sehari-hari, layanan kesehatan dan obat-obatan, akses pendidikan.

Tak kalah penting adalah perlindungan melalui jaminan sosial dan tabungan untuk masa depan. Dalam berbagai tulisan disebutkan bahwa di Indonesia, total kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja lajang diperkirakan mencapai sekitar Rp2,8 juta per bulan, sebagai acuan untuk menetapkan upah minimum yang manusiawi dan berkeadilan. Nilai tersebut dihitung untuk 1 kepala. Berarti gaji yang hanya Rp2,155 juta masih di bawah standar KHL. Apalagi itu digunakan untuk menghidupi anak dan istri (keluarganya). Sangat memprihatinkan.

Apa kabar dengan pekerja/buruh lainnya? Tentu lebih memprihatinkan lagi. Dengan jam kerja yang lebih panjang, harus menerima gaji di bawah standar.

Maka yang harus dilakukan adalah revisi kebijakan penetapan upah minimum. Pemerintah harus memprioritaskan KHL sebagai dasar utama perhitungan UMK/UMP, bukan semata pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Pemerintah daerah bisa menyusun anggaran gaji berdasarkan survei aktual harga-harga di pasar dan kebutuhan riil masyarakat.

Masyarakat harus melek mata dalam menyelesaikan problem ini. Tidak hanya cukup dengan demonstrasi saja, tapi harus banyak belajar bagaimana sistem Islam mengatur masalah pengupahan. Agar titik kesadaran umat ini muncul, bahwa mereka sedang dizalimi.

Dalam Islam (negara Islam), kebijakan upah (ajr/ujrah) diatur berdasarkan prinsip keadilan (‘adl), kerelaan (ridha) antara pihak pekerja dan pemberi kerja, serta perlindungan terhadap hak-hak buruh agar tidak dizalimi.

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering...” (HR. Ibnu Majah, 2443)

Al-Qur'an surat Al-Thalaq ayat 6 juga menyebutkan:

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ
Kemudian apabila mereka menyusui anak-anakmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.

Hal ini menegaskan bahwa upah bukan sekadar imbalan kerja, melainkan hak mendasar yang wajib dipenuhi. Karena itu, pemberian upah harus dilakukan secara tepat waktu, dalam jumlah yang layak, serta tanpa penundaan yang dapat merugikan pekerja maupun keluarganya. Prinsip ini juga sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan kesejahteraan umat sebagai prioritas.

Dalam berbagai riwayat, Islam memberikan perhatian serius terhadap praktik pengupahan, baik dalam hal keadilan, ketepatan, maupun kepastian. Dari riwayat-riwayat tersebut dapat kita lihat bagaimana Islam menekankan bahwa pekerja harus dihargai dengan memberikan haknya segera setelah pekerjaan selesai, sehingga tercipta keadilan sosial dan jaminan kesejahteraan. Contohnya:
  • Prajurit dan tentara menerima upah bulanan yang dibayarkan dalam dinar dan dirham. Misalnya, prajurit biasa mendapatkan sekitar 1 hingga 3 dinar per bulan, tergantung pada pangkat dan tugas. Bila dikonversikan dalam rupiah 7,3 juta sampai 21,93 juta rupiah. Selain upah, mereka juga mendapat tunjangan makanan, pakaian, dan perlengkapan tempur dari kas negara (baitulmal). Termasuk keluarga yang ditanggung oleh prajurit tersebut mendapatkan tunjangan.
  • Tukang bangunan atau buruh harian dibayar harian atau mingguan dalam dirham dan dinar. Seorang tukang bangunan bisa mendapatkan setengah dinar hingga 1 dinar per hari (3,6 juta-7,3 juta rupiah), tergantung jenis pekerjaan dan keahlian.
  • Guru-guru dan ulama yang bekerja di madrasah atau lembaga pendidikan mendapat gaji dalam bentuk dinar. Besarannya disesuaikan dengan status dan pengalaman, misalnya 2-5 dinar per bulan (14,6 juta-36,6 juta rupiah).

Kecemerlangan daulah Islam dalam memberikan upah tercermin dari prinsip keadilan sosial, transparansi, dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan sistem kapitalis modern yang sering mengandalkan pasar bebas dan prinsip kemaruk. Daulah Islam menempatkan upah bukan sekadar transaksi ekonomi, tapi amanah dan kewajiban dari Allah ﷻ yang harus dipenuhi secara adil dan manusiawi.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar