PERBANDINGAN PAJAK, ZAKAT, DAN WAKAF DALAM SISTEM KAPITALISME DAN ISLAM


Oleh: Nita Nur Elipah
Penulis Lepas

Baru-baru ini, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak, zakat, dan wakaf menjadi viral di media sosial.

Seperti yang dikutip dari CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa membayar pajak memiliki kesetaraan dengan menunaikan zakat dan wakaf. Pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan (Kamis, 14 Agustus 2025).

Pernyataan ini jelas menuai kontroversi di kalangan netizen. Banyak yang tidak sepakat dengan pernyataan tersebut, bahkan Menkeu dianggap gagal memahami perbedaan antara zakat, wakaf, dan pajak.

Pernyataan Menkeu ini ternyata bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak yang saat ini tengah mengalami penurunan.

Seperti yang sudah kita ketahui, pajak tetap menjadi sumber utama pendapatan APBN. Pemerintah bahkan mencari objek pajak baru, seperti pajak warisan, karbon, rumah ketiga, dan lain-lain. Sedangkan pajak yang sudah ada, tarifnya dinaikkan berkali-kali lipat, seperti pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Contohnya terjadi di Pati, di mana Bupati Pati, Sudewo, menaikkan tarif pajak di daerahnya sebesar 250 persen, namun akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan.

Selain di Pati, beberapa daerah lainnya juga sedang gaduh mengenai kenaikan tarif PBB-P2, seperti di Kota Cirebon, Kabupaten Jombang, dan Kabupaten Banyuwangi. Besaran kenaikan tarif bervariasi, mulai dari ratusan persen hingga ada yang mencapai 1.000 persen.

Miris memang, banyaknya pajak yang ditetapkan oleh pemerintah sangat menyusahkan masyarakat. Masyarakat terpaksa membayar pajak meski penghasilan mereka terbatas dan kehidupan semakin penuh tantangan.

Kondisi ini terjadi karena negara saat ini menerapkan sistem kapitalisme, yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung ekonomi setelah utang, sementara pada saat yang sama, sumber daya alam (SDA) diserahkan kepada swasta kapitalis.

Rakyat semakin tercekik dengan pajak, yang membuat banyak dari mereka jatuh ke jurang kemiskinan, sementara para kapitalis semakin kaya raya dan mendominasi ekonomi negara karena mendapat fasilitas dari pemerintah. Bahkan, undang-undang yang ada dibuat untuk memanjakan para kapitalis, sementara rakyat semakin dipersulit.

Pajak dalam sistem kapitalisme jelas sangat tidak adil, karena secara paksa mengambil harta dari rakyat miskin. Bahkan, uang hasil pajak tidak digunakan untuk menyejahterakan rakyat miskin, melainkan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis. Kebijakan pajak juga lebih menguntungkan kapitalis, seperti melalui kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty), dan lain-lain.

Pajak tentu saja berbeda dengan zakat dan wakaf. Zakat adalah kewajiban bagi orang kaya yang hartanya melebihi nisab dan telah mencapai haul. Wakaf hukumnya sunnah, bukan kewajiban.

Sedangkan pajak dalam Islam hanya dipungut dari laki-laki Muslim yang kaya, dan hanya untuk keperluan mendesak yang sudah ditentukan oleh syariat, sebagaimana tercantum dalam kitab Al-Amwal. Pajak ini bersifat sementara, dikenakan hanya saat kas negara tidak mencukupi.

Zakat merupakan salah satu sumber pemasukan APBN Daulah Islam (baitulmal). Namun, pengeluaran zakat (objek penerimanya) sudah ditentukan oleh syariat, yaitu hanya untuk 8 asnaf, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

Baitulmal dalam Daulah Islam memiliki banyak sumber pemasukan dan tidak hanya bergantung pada zakat. Salah satu pemasukan terbesar berasal dari pengelolaan SDA milik umum oleh negara yang tidak diserahkan kepada swasta.

Dari pengelolaan tersebut, hasilnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang diberikan secara cuma-cuma. Dengan demikian, hanya melalui penerapan sistem ekonomi Islam kaffah dalam naungan Daulah Islam, kesejahteraan bagi setiap individu rakyat dapat terwujud.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar