
Oleh: Diaz
Jurnalis
Kecanggihan teknologi seharusnya membawa kemajuan, namun di tangan yang salah ia justru menjadi senjata mematikan. Fenomena deepfake adalah buktinya. Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi korban manipulasi video dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Ucapannya soal guru sebagai beban negara dipelintir, lalu viral di jagat maya. Sri Mulyani pun segera membantah melalui akun Instagramnya, menegaskan bahwa video tersebut hasil manipulasi digital.
Kasus ini menunjukkan betapa bahayanya teknologi deepfake. Jika seorang pejabat tinggi negara saja dapat menjadi korban fitnah digital, bagaimana dengan rakyat jelata yang tak memiliki kuasa untuk membela diri? Jelas, keberadaan teknologi yang bisa menciptakan realitas palsu ini telah membuka ruang bagi penyebaran hoaks yang sulit dikendalikan.
Negara yang Lemah dalam Menghadapi Hoaks
Hoaks dan disinformasi bukanlah fenomena baru. Namun, dengan hadirnya teknologi seperti deepfake, daya rusaknya menjadi jauh lebih dahsyat. Sayangnya, negara tampak gagap menghadapi gelombang ini. Pemerintah hanya sebatas mengeluarkan imbauan atau klarifikasi setelah hoaks terlanjur menyebar.
Inilah wajah asli sistem kapitalis-sekuler hari ini: reaktif, lemah, dan seringkali tidak mampu melindungi rakyatnya dari arus informasi beracun. Bahkan, penegakan hukum terhadap penyebar hoaks sering kali pilih-pilih. Ada yang ditindak tegas ketika dianggap merugikan penguasa, tapi dibiarkan ketika justru menguntungkan pihak tertentu.
Lebih jauh, negara sekuler-kapitalis memang rawan menjadi ladang subur bagi hoaks. Mengapa? Karena politiknya dibangun di atas asas kepentingan, bukan kebenaran. Informasi pun kerap dijadikan alat propaganda, bukan sarana mendidik rakyat. Alhasil, hoaks terus tumbuh subur, sementara masyarakat semakin bingung membedakan antara fakta dan manipulasi.
Islam vs. Sistem Sekuler: Siapa yang Benar-Benar Bisa Memberantas Hoaks?
Berbeda dengan kapitalis-sekuler yang permisif dan sarat kepentingan, Islam memiliki pandangan tegas terhadap penyebaran berita bohong. Hoaks dalam Islam dikategorikan sebagai fitnah, kedustaan, dan penyimpangan serius yang merusak tatanan sosial. Al-Qur’an sendiri telah mengingatkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya..." (QS. Al-Hujurat [49]: 6).
Rasulullah ﷺ pun memperingatkan keras tentang bahaya dusta. Beliau bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap pendusta apabila ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa asal menyebarkan informasi tanpa tabayun saja sudah bisa menjerumuskan pada kedustaan. Apalagi jika seseorang sengaja membuat dan menyebarkan hoaks, tentu dosanya lebih besar lagi.
Dalam sistem Islam, ada tiga mekanisme penting untuk mencegah hoaks:
- Individu yang bertakwa. Masyarakat Islam dibangun di atas akhlak mulia, termasuk kejujuran. Karena orang yang menyebarkan berita tanpa tabayun saja dianggap berdosa.
- Kontrol sosial. Umat diberi kewajiban amar makruf nahi mungkar, sehingga setiap individu turut mengawasi agar tidak ada berita bohong yang beredar.
- Peran negara. Negara Islam (Khilafah) wajib menegakkan hukum tegas kepada penyebar hoaks. Jika berita bohong itu menimbulkan keresahan publik, negara berhak menjatuhkan sanksi setimpal, termasuk hukuman ta’zir yang membuat jera.
Dengan mekanisme ini, Islam bukan hanya menindak pelaku hoaks, tetapi juga menutup pintu lahirnya hoaks dari sistem yang kotor. Media dalam naungan Islam tidak digunakan untuk propaganda kepentingan politik, melainkan untuk mendidik, menyebarkan ilmu, dan menjaga kesatuan umat.
Jalan Keluar yang Hakiki
Kasus Sri Mulyani hanyalah satu contoh kecil. Esok hari, mungkin ada lagi pejabat lain, bahkan rakyat biasa, yang menjadi korban fitnah digital. Dengan sistem yang ada sekarang, siklus ini akan terus berulang. Kita hanya akan disuguhi klarifikasi demi klarifikasi, sementara rakyat tetap terpapar kebohongan yang bisa memecah belah.
Sudah saatnya kita jujur mengakui: kapitalisme-sekuler tidak punya solusi hakiki untuk memberantas hoaks. Sebaliknya, hanya Islam yang mampu menyelesaikannya secara sistemik, melalui pembinaan akidah, kontrol sosial, dan peran negara yang kuat.
Maka, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan terus hidup dalam lingkaran kebohongan yang dipelihara sistem sekuler, atau beralih pada sistem Islam yang menjamin kebenaran dan keadilan?
0 Komentar