TANAH TERLANTAR DIAMBIL NEGARA, AKANKAH UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT?


Oleh: Ati Ummu Inaya
Aktivis Muslimah

Baru-baru ini, pajak tahunan naik lebih dari dua kali lipat, yang membuat rakyat merasa bingung dan kesulitan. Selain itu, ada kebijakan baru yang menyatakan bahwa tanah yang tidak digunakan selama dua tahun akan diambil oleh negara. Kebijakan ini ditegaskan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar. (Kompas, 18/07/2025).

Kebijakan ini membuat rakyat menjadi resah, geram, dan tersulut emosi. Wajar saja jika rakyat melampiaskan rasa kekecewaannya dengan membuat berbagai macam slogan, seperti “rekening nganggur 3 bulan berturut-turut diblokir negara,” “tanah nganggur 2 tahun berturut-turut diambil negara,” dan “rakyat nganggur bertahun-tahun, negara tidak peduli.

Menurut Nusron, ada sekitar 1,4 juta hektare tanah yang tidak digunakan yang akan diambil oleh negara (CNN Indonesia, 16/07/2025). Adapun kriteria tanah yang bisa diambil oleh negara meliputi:
  • Hak Milik: Dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar jika sengaja tidak digunakan atau dimanfaatkan hingga akhirnya dikuasai pihak asing.
  • Hak Guna Bangunan (HGB): Digunakan untuk pembangunan perumahan, ruko, dan pusat perbelanjaan.
  • Hak Guna Usaha (HGU): Digunakan untuk perkebunan. HGB dan HGU dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar jika tidak ada perkembangan usaha dalam waktu dua tahun. Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN akan menginventarisasi dan mengidentifikasi lahan tersebut sebagai potensi tanah terlantar.
  • Hak Pakai: Jika tidak dikelola sesuai izin dan rencana pemanfaatan yang diberikan, ini dapat berpotensi menjadi tanah terlantar.
  • Hak Pengelolaan: Yang tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh pihak yang diberikan hak tersebut, ini juga berpotensi menjadi tanah terlantar.


Kapitalisme adalah Biang Keladinya

Beginilah jika negara menggunakan sistem kapitalisme yang katanya "dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat." Kenyataan sungguh jauh berbeda dari teorinya. Justru rakyatlah yang menjadi sasaran empuk demi kepentingan pemilik modal atau para oligarki. Mereka memandang tanah sebagai aset berharga, seperti emas atau berlian, yang semakin lama semakin tinggi nilai jualnya dan sangat menguntungkan.

Demi melanggengkan proyek-proyeknya seperti infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN), Target Swasembada Lumbung Pangan Indonesia Emas 2045, Food Estate, serta keterkaitannya dengan Perppu Cipta Kerja, pemerintah membentuk badan khusus melalui PP 64/2021 Tentang Badan Bank Tanah yang mempunyai wewenang untuk mengambil, mengelola, memanfaatkan, mendistribusikan, dan menampung tanah-tanah yang dianggap terlantar dari berbagai sumber. Jelaslah bahwa negara yang sebenarnya membuka kran sebagai penyedia lahan atau tanah untuk para pengusaha atau pemilik modal, meskipun rakyat yang menjadi imbasnya.


Lantas, inikah yang dikatakan menyejahterakan rakyat?

Di mana rakyat hari ini semakin kesulitan untuk mendapatkan lahan atau tanah untuk tempat tinggal, bertani, dan berdagang, sementara di satu sisi banyak tanah atau lahan yang dimiliki oleh negara terbengkalai dan dibiarkan menganggur begitu saja. Rakyat justru dibiarkan memikul beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Bagaimana mungkin tugas yang sebenarnya diemban oleh negara malah harus ditanggung oleh rakyat? Bukankah ini sesuatu yang memaksakan?


Kepemilikan Tanah dalam Pandangan Islam

Sangat berbeda jika sistem Islam yang diterapkan. Menurut Syekh Taqiyudin an-Nabhani dalam kitab Nidzam al-Iqtishadi fi al Islam, kepemilikan tanah terbagi menjadi tiga: kepemilikan individu, umum, dan negara.

  • Kepemilikan Individu
Kepemilikan individu terikat dengan sebab syar'i, seperti bekerja, pewarisan, pemberian dari negara, dan perolehan tanpa kompensasi harta atau tenaga. Salah satu wujud aktivitas bekerja adalah menghidupkan tanah mati. Jadi, ketika seseorang sanggup mengelola atau menghidupkan tanah yang mati dan memberinya batas atau pagar, maka tanah itu bisa dimiliki. Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَه
"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam kitab Nizamul Islam, penggunaan hak milik terikat dengan izin dan Allah sebagai pembuat hukum, baik pengeluaran maupun pengembangan kepemilikan. Dilarang berfoya-foya, menghamburkan harta, dan kikir. Tidak boleh mendirikan perseroan berdasarkan sistem kapitalis atau koperasi, serta semua bentuk transaksi yang bertentangan dengan syariat, seperti riba, manipulasi harta, penimbunan, perjudian, dan lain-lain.

Maka dalam hal ini, negara tidak boleh semena-mena merampas atau mengambil tanah secara paksa demi kepentingan umum. Selama tanah itu dikelola dan ada aktivitas produksi, maka kepemilikan itu tetap ada. Ketika rakyat tidak mampu mengelolanya, negara akan ikut menanyakan sebab-sebabnya dan membantu jika ternyata ada kesulitan dalam pengelolaan tanah atau lahan tersebut. Namun, jika dengan sengaja menelantarkan tanah yang dimiliki, maka orang lain berhak memanfaatkannya.

Khalifah Umar RA pernah berkata:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَعَطَّلَهَا ثَلَاثَ سِنِينَ، لَا يُعَمِّرُهَا، فَعَمَّرَهَا غَيْرُهُ، فَهُوَ أَحَقُّ بها
"Siapa saja yang memiliki tanah, lalu ia telantarkan selama tiga tahun, tidak ia gunakan, kemudian datang orang lain memanfaatkan tanah itu, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut."

  • Kepemilikan Umum
Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang penggembalaan, dan api." (HR. Abu Dawud)

Contoh kepemilikan umum adalah hutan, jalan raya, dan lapangan yang digunakan untuk kemaslahatan banyak orang. Ini tidak boleh dimiliki oleh swasta atau individu, apalagi untuk tujuan bisnis.

  • Kepemilikan Negara
Kepemilikan negara meliputi padang pasir, gunung, bukit, tanah mati yang tidak terurus, dan negara juga berhak memberikan tanah kepada rakyat yang sanggup mengelolanya.

Pernah suatu ketika, Bilal bin Al Harits meminta sebidang tanah kepada Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah pun memberinya. Ketika kepemimpinan Umar bin Al Khathab meminta Bilal untuk menyerahkan sebagian tanah yang tidak sanggup dikelolanya karena saking luasnya, maka dengan ikhlas Bilal menyerahkan tanah tersebut kepada khalifah. Lalu, Khalifah Umar bin Al Khathab menyerahkan kembali tanah itu kepada rakyat yang sanggup mengelolanya dan menghidupkannya.

Sungguh, Islam memandang segala sesuatu sesuai dengan syariat Allah ﷻ. Bukan hanya kesejahteraan rakyat, tetapi semua terjamin sukses di dunia dan akhirat. Sangatlah berbeda jika sistem atau aturan lain yang digunakan. Halal dan haram tidak lagi dihiraukan, yang penting ada manfaat yang didapatkan seluas-luasnya. Semoga Islam kaffah segera tegak kembali di bumi Allah ﷻ agar Islam menjadi rahmatan lil 'alamin.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar