
Oleh: Muhar
Sahabat Gudang Opini
Pernyataan kontroversial Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menjadi bukti terbaru rusaknya relasi antara rakyat dan wakilnya dalam sistem demokrasi. Menanggapi desakan publik di media sosial agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibubarkan, Sahroni justru merespons dengan kalimat kasar.
“Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia,” ketus Syahroni saat kunjungan kerja di Polda Sumut, Jumat (CNN Indonesia, 22/8/2025)
Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat yang seharusnya menjadi penghubung suara rakyat, malah meremehkan mereka yang tengah menyuarakan kegelisahannya?
Isu mengenai tuntutan pembubaran DPR tidak muncul begitu saja tanpa dasar yang jelas. Ini adalah ekspresi kemarahan rakyat atas realitas tunjangan dan gaji anggota legislatif yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan, di tengah kesenjangan ekonomi yang melebar, harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik, dan angka kemiskinan yang belum tertanggulangi.
Bahkan, gedung DPR yang seharusnya menjadi tempat membahas nasib rakyat, belakangan justru viral karena dipakai untuk joget-joget seolah tak ada empati terhadap kondisi rakyat.
Demokrasi Lahirkan Arogansi
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat bukan hanya pembuat undang-undang, tapi juga bagian dari elit politik yang sering terjebak dalam kepentingan golongan dan transaksi kekuasaan. Mereka dipilih lewat sistem yang mahal dan sarat politik uang, sehingga orientasi kekuasaan bukan lagi pengabdian, melainkan pengembalian modal politik.
Akibatnya, rakyat hanya dianggap penting saat pemilu, tapi dianggap remeh ketika menyuarakan kritik. Pernyataan Sahroni hanyalah puncak gunung es dari mentalitas para politisi dalam sistem demokrasi yang tidak mengakar pada nilai-nilai tanggung jawab syar’i.
Demokrasi Bertentangan dengan Islam
Tak hanya soal etika wakil rakyat, lebih dalam lagi, sistem demokrasi juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat hukum sesuai kehendaknya, bukan berdasarkan wahyu Allah. Dalam sistem ini, DPR adalah lembaga legislatif tertinggi yang berwenang membuat, mengubah, dan mencabut undang-undang, meskipun itu bertentangan dengan syariat Islam.
Lihatlah berbagai produk hukum yang lahir dari sistem demokrasi:
- UU yang melegalkan praktik riba melalui sistem perbankan konvensional.
- UU Kesetaraan Gender yang membuka jalan bagi legalisasi penyimpangan seperti LGBT, yang jelas diharamkan dalam Islam.
- UU Minuman Beralkohol demi ‘kebebasan ekonomi’, padahal khamr diharamkan secara tegas dalam Al-Qur’an.
- Disahkannya investasi asing atas sumber daya alam menyebabkan kekayaan yang seharusnya milik rakyat dikuasai oleh korporasi swasta dan asing.
Semua itu adalah contoh nyata bagaimana sistem demokrasi menjadikan manusia sebagai pembuat hukum, bukan Allah. Padahal Allah ﷻ telah memperingatkan:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma'idah: 50)
Saatnya Kembali ke Sistem Islam
Oleh karena itu, tuntutan rakyat untuk membubarkan DPR bukan sekadar soal kelembagaan, melainkan juga mencerminkan runtuhnya kepercayaan terhadap sistem ini.
Namun, solusinya bukan hanya membubarkan DPR, lalu mengganti dengan wajah baru dalam sistem lama. Yang harus dibongkar adalah akar masalahnya, yaitu sistem demokrasi itu sendiri.
Islam menawarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya adil, tapi juga bersumber dari wahyu, yakni Khilafah Islamiyah. Dalam Khilafah, hukum hanya dibuat berdasarkan syariah, bukan suara mayoritas. Pemimpin dan pejabat negara wajib menerapkan hukum Allah secara kaffah dan diawasi oleh rakyat melalui mekanisme yang syar’i, bukan politik transaksional.
Khilafah juga memastikan pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan untuk memperkaya kalangan elit. Wakil rakyat dalam Islam yang disebut ahlul halli wal ‘aqdi. Mereka adalah orang-orang amanah yang terpilih berdasarkan ketakwaan dan keilmuannya, bukan karena modal kampanye.
Penutup
Pernyataan arogan seorang wakil rakyat yang mencaci rakyatnya menandakan demokrasi bukan jalan keluar, tetapi sumber krisis kepemimpinan dan rusaknya moral politik serta ketimpangan hukum.
Islam bukan sekadar agama ritual, tapi sistem kehidupan yang komprehensif, yang mampu menyelesaikan masalah umat hingga ke akarnya. Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi sejati tidak terletak pada tambal sulam demokrasi, tetapi pada penerapan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Hanya dengan itulah, keadilan bisa terwujud, suara rakyat tidak dibungkam, dan kehormatan umat tidak dicaci.
0 Komentar