SUMBER KEUANGAN DALAM ISLAM


Oleh: Ummu Zaid
Penulis Lepas

Pemerintah saat ini dihadapkan pada masalah utang yang akan segera jatuh tempo, sehingga mereka mencoba mencari solusi yang mudah dengan meningkatkan pemasukan pajak. Salah satu langkah yang diambil adalah mencari objek pajak baru guna memperbesar APBN. Di samping itu, pemerintah juga melakukan efisiensi dana ke daerah-daerah, yang berujung pada kenaikan PBB daerah dengan persentase yang cukup besar. Dampaknya, masyarakat di berbagai daerah seperti Pati, Cirebon, dan Jombang pun melakukan protes serta aksi demo menentang kebijakan tersebut.

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan kewajiban membayar pajak dengan menunaikan zakat dan wakaf menimbulkan polemik, karena pandangan ini jauh berbeda dengan perspektif Islam. Menkeu seakan-akan berusaha agar tidak ada penolakan terhadap kenaikan pajak, mengingat saat ini pajak menjadi tulang punggung ekonomi negara.

Namun, fakta yang ada menunjukkan bahwa mayoritas pajak lebih banyak dibebankan kepada masyarakat miskin, bukan orang kaya. Padahal, orang kaya justru mendapat berbagai kemudahan, salah satunya melalui kebijakan pengampunan pajak. Pendapatan pajak yang terkumpul malah digunakan oleh para kapitalis untuk membiayai proyek-proyek mereka, sementara kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin terlihat jelas.

Pajak yang dipungut dari rakyat dalam konteks ini bisa dilihat sebagai bentuk kedzaliman dari penguasa. Slogan untuk kesejahteraan rakyat seakan hanya sebuah akal-akalan belaka.

Dengan sumber daya alam Indonesia yang melimpah, seharusnya negara mampu mengelola kekayaan alam ini untuk kesejahteraan rakyat, jika saja pengelolaannya sesuai dengan aturan Allah ﷻ. Seperti halnya kandungan emas di Papua dan Sumatera Barat, tembaga di Papua dan Sulawesi, bauksit di Kepulauan Riau, nikel di Sulawesi dan Maluku, semuanya merupakan sumber daya yang dapat digunakan untuk menutupi defisit keuangan negara tanpa harus bergantung pada pajak.

Dalam sistem Islam, zakat hanya diambil jika sudah mencapai nisab dan haul. Namun demikian, pajak tetap dapat dipungut dari umat Muslim yang kaya, tetapi hanya untuk keperluan-keperluan yang bersifat sementara, terutama ketika kas negara kosong dan memerlukan dana mendesak.

Di dalam Islam, sumber keuangan bukan hanya berasal dari zakat, namun juga dari pengelolaan sumber daya alam negara yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan kepada pihak swasta.

Zakat itu sendiri diberikan sesuai dengan perintah Allah ﷻ dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60)

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh, didukung oleh keimanan dan ketaatan terhadap syariat Allah, seharusnya pemerintah tidak akan kesulitan mencari sumber pemasukan untuk APBN.

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau terkenal dengan distribusi zakat yang merata, hingga tidak ada lagi yang membutuhkan zakat karena seluruh rakyat sudah cukup. Beliau juga menghentikan pajak yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Sejarah peradaban Islam telah menunjukkan bahwa ketika sistem Islam diterapkan, kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang. Lalu, pertanyaannya adalah, apakah kita masih ingin terus diatur dengan sistem kapitalisme sekuler liberal yang hanya menguntungkan segelintir orang?

Posting Komentar

0 Komentar