
Oleh: Lielie Herny
Aktivis Dakwah
Ibu bagaikan pelita di malam yang gelap gulita. Ibu akan berjuang sekuat tenaga, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Namun, miris rasanya, banyak Ibu yang rela menjual bayinya demi memperoleh uang semata, dengan alasan himpitan ekonomi.
Seperti yang dilansir oleh Kompas, Minggu (27/07/2025), Direktorat Jenderal Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat telah menangkap enam pelaku baru dalam sindikat penjualan bayi. Penangkapan tersebut terjadi di dua wilayah berbeda di Kalimantan Barat. Sebanyak 25 bayi asal Jawa Barat akan dikirim ke Singapura.
Hasil penyelidikan terbaru mengungkapkan bahwa harga per bayi yang terjual ke Singapura mencapai 20.000 dollar AS, atau setara dengan Rp254 juta. Bayi-bayi malang tersebut dibeli dari orang tua kandung dengan harga sekitar Rp11 juta hingga Rp16 juta. Sindikat penjualan bayi ini sudah beroperasi sejak tahun 2023 dan terstruktur dengan modus adopsi. Yang lebih miris lagi, semua pelaku dalam sindikat ini adalah perempuan.
Seharusnya seorang ibu akan melindungi anak dengan sekuat tenaga, memberikan kasih sayang, serta mendidik putra-putrinya menuju masa depan yang lebih baik sesuai dengan syariat. Dimanakah hati nuranimu, wahai Ibu?
Akibat Hidup dalam Sistem Ekonomi Kapitalis
Fenomena penjualan bayi ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kemiskinan. Seharusnya seorang suami bertanggung jawab atas segala kebutuhan keluarganya, namun kenyataannya, mencari pekerjaan menjadi sangat sulit, sementara kebutuhan hidup semakin mahal untuk dijangkau. Negara sendiri seakan abai terhadap rakyatnya. Rakyat dibiarkan menanggung beban berat kehidupan, sementara negara hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kroninya, yang mengakibatkan rakyat terpaksa melakukan kezoliman, seperti penjualan bayi.
Begitu pula dengan keimanan, iman yang lemah dan tidak dilandasi dengan akidah Islam yang kuat, membuat seseorang mudah melakukan hal-hal yang salah tanpa berpikir apakah perbuatannya melanggar syariat atau tidak, asalkan mendapat uang. Islam hanya dipelajari sebagai ibadah ritual saja, tanpa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Sanksi yang diterapkan pun tidak cukup menjerakan. Para pelaku kriminal hanya dijatuhi hukuman penjara lima tahun atau denda paling berat lima juta rupiah. Hal ini menyebabkan para pelaku cenderung mengulangi perbuatannya. Begitulah akibat hidup dalam sistem kapitalis.
Hidup dalam Sistem Ekonomi Islam
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, dalam Islam, negara akan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya. Bagi setiap laki-laki yang mampu bekerja, negara akan mendorong rakyat untuk bekerja melalui pengolahan tanah yang belum produktif, pengembangan industri, dan sektor jasa. Jika seseorang tidak mendapatkan pekerjaan, negara wajib memberikan bantuan hingga ia mendapat pekerjaan. Bagi mereka yang tidak mampu bekerja karena sakit atau usia lanjut, negara akan memenuhi segala kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Untuk pemenuhan tersebut, negara akan mengambil dana dari Baitul Mal. Sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau sendiri yang turun tangan langsung memberikan bantuan kepada seorang ibu (janda) yang tidak memiliki bahan makanan. Ketika itu, ibu tersebut menghibur anak-anaknya yang kelaparan dengan memasak batu. Setelah mengetahui hal tersebut, Khalifah Umar bin Khattab segera memberikan bantuan. Itulah negara Islam, karena negara bertindak sebagai pelayan (ra'in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya.
Islam juga membekali rakyatnya dengan akidah Islam. Dengan landasan akidah yang kuat, seseorang tidak akan mudah melakukan perbuatan yang melanggar syariat, karena ia takut akan dosa dan memiliki keimanan serta ketakwaan kepada Allah.
Begitu juga dengan sanksi, Islam secara tegas mengharamkan jual beli manusia dalam bentuk apapun, baik orang dewasa, anak-anak, maupun bayi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلَاثَةُ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوفِهِ أَجْرَهُ. رواه ابن ماجه
"Ada tiga golongan orang yang kelak pada hari kiamat akan menjadi musuh-Ku. Barang siapa menjadi musuh-Ku maka Aku memusuhinya. Pertama, seorang yang berjanji setia kepadaku lalu dia ingkar (berkhianat). Kedua, seorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan uang harga penjualnya. Ketiga, seorang yang mengkaryakan (memperkerjakan) seorang buruh tapi setelah menyelesaikan pekerjaannya orang tersebut tidak memberinya upah." (HR Ibnu Majah)
Dalam Islam, bukan hanya pelaku utama yang diharamkan, tetapi juga siapapun yang membantu proses jual beli bayi. Bukankah kita merindukan kehidupan seperti itu? Untuk itu, marilah kita bersegera kembali kepada syariat Islam secara kaffah melalui institusi Khilafah.
Wallahu a'lam bissawab.
0 Komentar