MEMBONGKAR WAJAH PEMANGKU KEBIJAKAN: ISLAM HADIRKAN SOLUSI SEJATI


Oleh: Ruby Aurelly
Penulis Lepas

Baru saja selesai merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80, rakyat Indonesia kini kerap dijadikan ladang pemasokan cuan bagi para tuan di kursi-kursi agungnya. Gemuruh amarah rakyat terhadap kebijakan tarif pajak terus menggunduk dan kian memburuk.

Tak main-main, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sontak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat usai menyiarkan kebijakan barunya. Menurutnya, kewajiban membayar pajak dihukumi sama dengan wajibnya membayar zakat sebagaimana yang lazim dilakukan umat Muslim setiap tahunnya.

Center of Economic and Law Studies (Celios) baru saja menetaskan ide baru terkait objek yang dapat dikenai tarif pajak. Usulan ini diklaim mampu menghasilkan pemasukan sebesar Rp388,2 triliun bagi negara. Tercatat ada sekitar 10 objek baru yang diusulkan, di antaranya pajak kekayaan, pajak digital, pajak karbon, serta pajak rumah ketiga. (CNN Indonesia, 12/08/2025).

Usut punya usut, penarikan tarif pajak ini dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, faktanya, tumpukan uang dalam “gudang” negara tidak seluruhnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Sebagian besar justru dipakai untuk membayar utang pokok negara yang kian membengkak dan hampir habis ditelan para penguasa berdasi. Maka dapat disimpulkan, penarikan pajak ini adalah salah satu cara pemerintah memeras dan mencekik rakyat, sementara manfaatnya hanya dirasakan oleh para tuan serta oligarki di belakangnya.

Inilah buah kebejatan sistem kapitalis, yang dampaknya paling terasa bagi masyarakat miskin. Sistem ini menjadikan negara sebagai “pemalak” ulung lewat pungutan pajak dan berbagai pungutan lain. Akibatnya, rakyat sebagai korban pajak tetap berada di posisi melarat, sementara kekayaan terus menghujani para kapitalis dengan fasilitas mewah.

Berbeda dengan Islam, zakat yang senantiasa ditunaikan kaum Muslim dipungut berdasarkan jenis kekayaan yang telah ditetapkan syariat, yaitu mata uang, ternak, barang dagangan, serta biji-bijian yang telah mencapai haul dan melebihi nisab. Zakat diambil dari pemilik harta, baik ia seorang mukallaf (baligh dan berakal) maupun bukan mukallaf (anak kecil atau orang dengan keterbatasan akal). Nantinya, zakat disimpan dalam Baitul Mal dan disalurkan kepada delapan asnaf (golongan penerima zakat), bukan untuk para penguasa.

Adapun pajak dalam Islam hanya dipungut untuk menutupi kebutuhan Baitul Mal, dengan beberapa syarat. Pertama, pungutan dilakukan secara temporer, hanya ketika negara benar-benar membutuhkan. Kedua, pungutan diambil setelah pemilik harta menunaikan kewajiban utamanya, seperti zakat.

Jika sumber tetap pemasukan Baitul Mal tidak mencukupi anggaran negara, maka negara diperbolehkan memungut pajak dari para pemilik harta, khususnya laki-laki Muslim yang memiliki harta berlebih. Pungutan ini bukan berdasarkan paksaan, melainkan kesadaran untuk memenuhi kebutuhan umat.

Selama kapitalisme masih dianut suatu negara, selama itu pula kerusakan akan tumbuh di dalamnya. Tidak ada gunanya sekadar mengganti orang-orang di parlemen jika sistemnya tetap kapitalisme-sekulerisme. Sebab, akar permasalahan justru ada pada sistem itu sendiri.

Maka, seiring pergantian penguasa dari tahun ke tahun, rakyat Indonesia belum juga merasakan masa kejayaan, yakni saat rakyat diperlakukan adil, fakir miskin ditangani, dan keberlangsungan hidup terjamin. Negara Islam di bawah naungan Daulah Khilafah senantiasa peduli dan bertekad menuntaskan setiap persoalan rakyatnya secara menyeluruh.

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar