
Oleh: Nita Nur Elipah
Penulis lepas
Belakangan ini, viral di media sosial kabar tentang naiknya tunjangan anggota DPR. Mereka kini mendapat tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Jika ditambah dengan gaji dan berbagai tunjangan lainnya, total penghasilan seorang anggota DPR bisa menembus angka Rp100 juta.
Menurut Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, lonjakan pendapatan sebesar itu jelas melukai perasaan masyarakat luas. Ia menambahkan, ketika seluruh bangsa berusaha melakukan efisiensi (baik di tingkat kementerian, lembaga, maupun daerah) para anggota dewan justru tampak menikmati tambahan dana.
Achmad menegaskan, kondisi ini seakan menunjukkan rakyat dijadikan tumbal, sementara elit politik semakin dimanjakan dengan fasilitas dan gaya hidup mewah yang dibiayai dari hasil jerih payah rakyat. (Berita Satu, 20/08/2025).
Fakta tersebut sungguh ironis dan menyakitkan hati rakyat. Ketika tunjangan DPR meningkat, di saat yang sama rakyat justru semakin terhimpit oleh kemiskinan. Kala masyarakat berjuang memenuhi kebutuhan hidup, para penguasa malah bersenang-senang di atas penderitaan rakyat.
Kebijakan ini menjadi bukti nyata kezaliman penguasa terhadap rakyat. Mereka seolah menutup mata dan telinga dari jeritan masyarakat yang kelaparan akibat kemiskinan serta jurang kesenjangan sosial yang kian lebar.
Inilah keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme hari ini: yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin. Politik transaksional pun tak terhindarkan karena materi dijadikan tujuan utama. Ironisnya, mereka sendiri yang menetapkan besarnya anggaran demi memenuhi kepentingan pribadi.
Jabatan akhirnya dijadikan alat memperkaya diri, hingga empati terhadap rakyat yang seharusnya diwakili semakin hilang. Mereka pun abai terhadap amanah sebagai wakil rakyat.
Padahal, ada perbedaan mendasar antara tugas wakil rakyat dalam sistem demokrasi dan dalam Islam, termasuk asas yang melandasinya. Islam berasaskan akidah, syariat Allah menjadi pedoman, bukan sekadar akal manusia.
Setiap jabatan kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah, termasuk amanah sebagai anggota majelis umat. Karena itu, jabatan tidak semestinya dijadikan sarana kepentingan pribadi atau jalan memperkaya diri. Keimananlah yang menjadi penjaga agar senantiasa terikat pada aturan syariat.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي، ثُمَّ قَالَ
"يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا."
Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberikan jabatan kepadaku?’ Beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau, lalu bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu seorang yang lemah. Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya pada Hari Kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.’ ” (Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, no. 1825).
Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang hanya layak dipegang orang-orang kuat, agar mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar. Sementara yang lemah diingatkan agar tidak memegang jabatan, sebab dikhawatirkan akan lalai menunaikan amanah hingga berujung pada kehinaan dan penyesalan.
Karena itu, setiap Muslim wajib memiliki kepribadian Islam, termasuk anggota majelis umat. Dengan semangat fastabiqul khairat, mereka akan menjalankan amanah sebagai wakil umat. Fungsi majelis umat pada dasarnya terbagi menjadi dua:
Pertama, fungsi syura, yakni memberikan pandangan atau masukan. Pandangan ini bisa terkait hukum syariat, pemikiran, kebijakan, maupun pelaksanaan suatu aktivitas. Ada pendapat yang bersifat mengikat, ada pula yang tidak, tergantung pada ketentuan hukum syariat.
Kedua, fungsi muhasabah, yaitu mengontrol khalifah dan para aparatnya. Syura dan muhasabah berbeda. Syura hukumnya sunah, sementara muhasabah hukumnya wajib, terutama ketika terjadi kemaksiatan atau pelanggaran.
Dalil tentang pentingnya muhasabah ditegaskan Rasulullah ﷺ:
أفْضَلُ الجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائرٍ
“Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata yang benar di hadapan penguasa zalim.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, At-Thabrani, Al-Bayhaqi, dan An-Nasa’i).
Hadis ini menegaskan bahwa muhasabah kepada penguasa zalim adalah kewajiban, bukan hanya bagi majelis umat, melainkan juga bagi seluruh anggota masyarakat yang menyaksikan kezaliman tersebut.
Selama sistem kepemimpinan kapitalisme-sekuler dipertahankan, kehidupan rakyat akan terus terpuruk bahkan berpotensi menuju kehancuran. Satu-satunya jalan keluar adalah menghadirkan sistem kepemimpinan Islam, yang berpijak pada wahyu Allah ﷻ, dicontohkan Rasulullah ﷺ, dan dilanjutkan para khalifah setelah beliau.
Wallahu a’lam bishshawab.
0 Komentar