
Oleh: Nunung Sulastri
Penulis Lepas
Lagi-lagi DPR menjadi buah bibir, kali ini tidak jauh-jauh dari pendapatan tunjangan yang bernilai fantastis. Hal ini tentunya memantik banyak pertanyaan di tengah sulitnya ekonomi masyarakat, juga efisiensi yang dijalankan pemerintah.
Di saat Indonesia mendapat kabar guru honorer yang digaji Rp300.000 per bulan, berita anak kecil yang meninggal disebabkan cacingan, ditambah kabar pajak yang akan naik sekitar 13,5%, situasi ini membuat masyarakat hanya bisa mengelus dada.
RUU yang berhubungan dengan ekonomi dan perbankan, selama era Reformasi sampai tahun 2020, kurang lebih ada 144 undang-undang. Jika dipelajari, undang-undang tersebut lebih banyak menyengsarakan rakyat dan menguntungkan sebagian pihak, terutama bagi asing dan aseng.
Menjadi anggota DPR RI bukan lagi soal mewakili suara rakyat, melainkan untuk meningkatkan prestise dan taraf hidup mereka. Mereka menjadi orang berlimpah materi dengan mengabaikan segala macam janji serta visi misi yang disampaikan ketika kampanye.
Lebih dari 500 anggota dewan periode 2024–2029 menikmati berbagai tunjangan hingga pendapatan resmi mereka melampaui Rp100 juta per bulan. Para pengamat menilai hal ini tidak wajar di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit dan tidak sebanding dengan kinerja DPR yang dianggap mengecewakan.
Menurut pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kenaikan pendapatan DPR sampai Rp100 juta per bulan menyakiti perasaan masyarakat secara umum (Berita Satu, 20/8/2025).
Berikut adalah rincian tunjangan anggota DPR sebagaimana diatur dalam Surat Edaran DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan S-520/MK.02/2025:
Tunjangan melekat anggota DPR
- Tunjangan istri/suami Rp420.000
- Tunjangan anak Rp168.000
- Tunjangan sidang/paket Rp2.000.000
- Tunjangan jabatan Rp9.700.000
- Tunjangan beras Rp30.090.000 per jiwa
- Tunjangan PPh Pasal 21 Rp2.699.812
Tunjangan lain anggota DPR
- Tunjangan kehormatan Rp5.580.000
- Tunjangan komunikasi Rp15.554.000
- Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan anggota Rp3.750.000
- Bantuan listrik dan telepon Rp7.700.000
Semua itu belum termasuk gaji pokok yang telah ditetapkan melalui PP No. 75 Tahun 2000 berdasarkan jabatan:
- Ketua DPR Rp5.040.000
- Wakil Ketua DPR Rp4.620.000
- Anggota DPR Rp4.200.000
Per bulan, mereka bisa mendapatkan Rp54.051.903 di luar tunjangan rumah, uang perjalanan dinas, serta dana ke daerah pemilihan atau yang dikenal dengan dana aspirasi.
Sungguh nilai gaji yang fantastis, sementara rakyat masih sulit mendapatkan pelayanan publik yang baik dan berkualitas.
Watak Sekularisme–Kapitalisme
Kenaikan gaji yang melonjak tinggi tersebut merupakan kebijakan zalim dari penguasa. Bahkan, beberapa anggota dewan ketika mendengar kabar kenaikan gaji malah berjoget-joget tanpa rasa malu, seolah-olah tidak ada empati terhadap rakyat kecil. Sikap ini adalah cerminan dari sistem sekular-kapitalisme.
Kesenjangan sosial adalah keniscayaan dalam aturan atau sistem demokrasi kapitalisme, termasuk politik transaksional yang merusak integritas seseorang dan menunbuhkan bibit yang melahirkan pemimpin koruptif. Politik transaksional juga rawan praktik jual beli hukum oleh penegak hukum. Tidak heran jika anggota dewan bekerja hanya demi uang, fasilitas, dan tunjangan.
Karena materi menjadi tujuan mereka, bahkan merekalah yang menentukan besaran anggaran untuk kepentingan sendiri. Jelas, mereka tidak peduli apakah pendapatan itu halal atau haram.
Dalam sistem demokrasi, jabatan dijadikan alat memperkaya diri, sehingga kepekaan terhadap rakyat hilang. Katanya mewakili suara rakyat, namun nyatanya abai terhadap tugas dan amanah. Bisa jadi terlalu cinta dunia dan lupa akan pertanggungjawaban di akhirat kelak. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 20:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Konsep Wakil Rakyat dalam Islam
Dalam sistem Islam, perwakilan rakyat disebut Majelis Umat yang bertugas melakukan pengawasan dan koreksi (muhasabah) atas kebijakan pemerintah sesuai hukum-hukum Allah ﷻ sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah ﷺ.
Tunjangan atau gaji bagi penguasa dan pejabat diberikan sesuai kebutuhan hidupnya, tidak bersifat hedonis atau bermegah-megahan. Pejabat dalam sistem Islam berperan sebagai pemimpin yang mengurusi hajat hidup rakyat, dan mereka sadar bahwa dirinya adalah pelayan rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam atau khalifah adalah penggembala (ra‘in) dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah ﷻ, bukan aji mumpung untuk memanfaatkan anggaran negara demi kepentingan pribadi, sebagaimana yang banyak dilakukan anggota DPR saat ini.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika rakyat dilanda paceklik berat, beliau menunjukkan kepedulian dengan membatasi makan, hidup sederhana, bahkan makan bersama rakyatnya yang kelaparan serta mendoakan turunnya hujan. Beliau berempati terhadap penderitaan rakyatnya sehingga terdorong memperjuangkan nasib mereka yang kesulitan.
Dari kisah itu kita belajar bahwa pemimpin ideal adalah yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Pemimpin harus merasakan apa yang dirasakan rakyat. Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme-sekular saat ini yang kehilangan kepekaan, membuat aturan sesuai kepentingan pribadi, dan menjadikan jabatan sebagai aji mumpung untuk meraih kekayaan dengan fasilitas serta tunjangan tidak masuk akal.
Islam mengatur distribusi kekayaan secara adil agar tidak menimbulkan kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 7:
مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Apabila fungsi jabatan dijalankan sesuai syariat Islam, insyaallah akan mendatangkan keberkahan dan keridaan Allah ﷻ atas amanah yang dipikulnya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
0 Komentar