
Oleh: Abu Ghazi
Pengamat Kebijakan Publik
Indonesia hari ini sedang terluka. Luka itu bukan hanya terlihat dari korban jiwa akibat konflik, kerusuhan, atau demonstrasi. Luka yang lebih dalam adalah trauma, rasa ketidakadilan, dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap negara. Di banyak sudut negeri, masyarakat kecil bertanya-tanya: sampai kapan penderitaan ini harus ditanggung?
Krisis multidimensi melanda: harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan kerja makin sempit, politik kian memanas, sementara suara rakyat sering kali hanya menjadi gema kosong di ruang sidang elite. Nyawa melayang, air mata tumpah, tetapi yang lebih menyakitkan adalah rasa seakan keadilan tak pernah benar-benar hadir.
Kita tidak sedang membicarakan satu-dua masalah. Indonesia tengah digempur problem kompleks: dari lemahnya hukum, sistem politik yang kotor, hingga dominasi oligarki yang menancapkan kuku di berbagai lini. Semua ini menuntut bukan sekadar kritik, tetapi keberanian untuk mencari solusi mendasar.
Perspektif Islam tentang Kekuasaan dan Tanggung Jawab
Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah besar, bukan kursi empuk untuk menambah kehormatan. Seorang pemimpin dipandang sebagai “penggembala”, dan setiap gembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya. Rasulullah ﷺ menegaskan:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Artinya jelas: seorang presiden tidak hanya dituntut oleh rakyat di dunia, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Membiarkan korupsi merajalela, membiarkan rakyat miskin kelaparan, atau membiarkan hukum dipermainkan adalah dosa yang lebih besar daripada sekadar kegagalan administratif.
Kekuasaan dalam Islam bukanlah jalan untuk berkuasa demi diri sendiri, melainkan sarana untuk menegakkan keadilan dan menyejahterakan rakyat. Itulah standar moral yang seharusnya dijadikan pegangan, bukan sekadar janji politik lima tahunan.
Belajar dari Myanmar dan Filipina
Kalau kita menoleh ke Myanmar, kita melihat betapa rakyat hidup di bawah cengkeraman militer. Nyawa begitu murah, kebebasan dipenjara, dan harapan seakan dimatikan. Di Filipina, sejarah mencatat ada rezim otoriter yang menindas rakyat dengan dalih stabilitas.
Indonesia memang tidak sama persis, tetapi kita punya tantangan unik. Sistem demokrasi yang seharusnya menjadi sarana rakyat menyuarakan haknya justru menjadi ladang subur bagi oligarki. Bedanya lagi, kita hidup di era media sosial, di mana konflik bisa meledak bukan hanya di jalanan, tetapi juga di ruang digital.
Media Sosial: Senjata Bermata Dua
Hari ini, setiap orang bisa menjadi penyampai berita, penggiring opini, bahkan provokator. Media sosial memberi rakyat kekuatan baru, tetapi sekaligus menciptakan medan perang opini yang sering kali brutal.
Ada kabar baik: rakyat kecil kini punya ruang bersuara, menantang narasi resmi pemerintah, dan memobilisasi dukungan dengan cepat. Tetapi ada kabar buruk juga: hoaks dan manipulasi merajalela, membuat masyarakat mudah terpecah. Polarisasi yang tajam sering kali membuat kita lupa siapa sebenarnya musuh bersama: sistem yang tidak adil.
Masyarakat Indonesia, yang sebagian besar aktif di media sosial, harus belajar bijak. Jangan sampai ruang digital yang seharusnya menjadi alat perlawanan dari kezaliman justru berubah menjadi jebakan yang memecah belah bangsa.
DPR dan Sistem Politik Oligarki
Di mata banyak rakyat, DPR adalah simbol dari krisis kepercayaan. Ia dipandang sebagai lembaga yang penuh praktik korupsi, jauh dari aspirasi masyarakat. Bahkan, banyak survei menempatkan DPR sebagai lembaga paling tidak dipercaya.
Mengapa? Karena sistem politik kita mahal. Untuk duduk di kursi legislatif, seorang calon harus mengeluarkan biaya fantastis. Akibatnya, yang punya peluang besar adalah mereka yang disokong sponsor politik dan pemilik modal. Begitu terpilih, utang politik itu harus dibayar. Rakyat pun tersisih, kebijakan lebih berpihak pada oligarki.
Namun, menyalahkan DPR semata tidaklah cukup. DPR hanya gejala, bukan sumber penyakit. Akar masalahnya adalah sistem politik demokrasi yang sejak awal membuka ruang bagi kekuasaan modal.
Mentalitas Masyarakat: Cermin Pemimpin
Satu hal yang sering kita lupakan: pemimpin adalah cermin rakyatnya. Kalau masyarakat permisif terhadap korupsi, maka jangan heran jika koruptor tumbuh subur di kursi kekuasaan. Kalau rakyat masih menganggap “asal dapat bagian, tidak apa-apa”, maka sistem bobrok akan terus langgeng.
Islam menekankan bahwa kita harus membenci perbuatan zalim, bukan sekadar membenci pelakunya. Korupsi adalah kezaliman besar, karena uang rakyat yang seharusnya untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur malah masuk ke kantong pribadi.
Kalau masyarakat tidak bersikap tegas menolak kezaliman, maka lingkaran setan ini akan terus berulang: rakyat permisif → lahir pemimpin buruk → lahir kebijakan zalim → rakyat makin menderita.
Tanggung Jawab Kolektif: Dari Diri Sendiri ke Perubahan Sistem
Setiap kita punya peran. Jangan menunggu orang lain. Perubahan tidak akan datang jika kita masih sibuk menyalahkan tanpa memperbaiki diri. Islam mengajarkan bahwa umat akan dipimpin sesuai dengan kondisi mereka. Jika rakyat rusak, pemimpinnya pun rusak.
Maka, langkah awal adalah perbaikan individu: jujur, menolak suap, tidak ikut menyebarkan fitnah, mendidik anak-anak dengan akhlak. Dari situ, lahir masyarakat dengan fondasi moral kuat. Ketika fondasi ini menguat, barulah rakyat mampu memperjuangkan perubahan sistemik.
Tantangan Besar: Oligarki
Realitanya, pemimpin Indonesia tidak pernah berdiri sendiri. Ada oligarki yang mengendalikan politik dan ekonomi dari belakang layar. Presiden bisa saja punya niat baik, tetapi tanpa dukungan rakyat yang solid, niat itu bisa digilas kepentingan modal.
Namun, dalam Islam, seorang pemimpin tidak punya alasan untuk tunduk kepada oligarki. Ia tetap akan dimintai pertanggungjawaban penuh. Tantangannya memang besar, tetapi justru di situlah ukuran kepemimpinan: berani melawan arus demi rakyat, atau memilih diam demi kenyamanan.
Solusi Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Jangka pendek, rakyat harus mendorong penghentian kesewenang-wenangan. Hukum harus ditegakkan adil, tanpa pandang bulu. Edukasi publik juga harus diperkuat agar rakyat tidak mudah diprovokasi atau dipecah-belah.
Jangka panjang, reformasi sistem politik harus dilakukan. Biaya politik harus dipangkas, transparansi ditingkatkan, dan hanya orang berintegritas yang diberi jalan menuju kursi kekuasaan. Tapi, mari jujur: upaya ini akan sulit jika masih berada dalam lingkaran sistem demokrasi yang sejak awal dirancang untuk memberi ruang bagi modal.
Saatnya Menatap Solusi Islam
Kita perlu berani mengakui satu hal: sistem politik demokrasi yang berjalan selama puluhan tahun di Indonesia gagal melahirkan keadilan. Ia gagal melindungi rakyat, gagal menyingkirkan oligarki, dan gagal memastikan kesejahteraan merata.
Islam punya solusi yang lebih komprehensif: sistem politik dalam Daulah Khilafah. Dalam sistem ini, pemimpin (khalifah) dipilih untuk menjalankan syariat Islam, bukan untuk melayani kepentingan oligarki. Kekuasaan dipandang sebagai amanah, bukan hak. Khalifah bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyat: pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan.
Tidak ada politik mahal yang membuka ruang bagi sponsor. Tidak ada oligarki yang bisa membeli kebijakan. Hukum ditegakkan berdasarkan syariat, sehingga keadilan menjadi prinsip utama. Dalam Khilafah, pemimpin bukan hanya dituntut oleh rakyat, tetapi juga takut kepada Allah, karena sadar setiap kebijakannya akan dihisab di akhirat.
Inilah solusi hakiki bagi Indonesia. Bukan tambal sulam, bukan sekadar mengganti wajah pemimpin, tetapi mengganti sistem yang menjadi akar masalah.
Perubahan memang tidak mudah. Tetapi sejarah membuktikan, umat Islam pernah hidup dalam naungan Khilafah selama berabad-abad, dengan keadilan yang memikat dunia. Saatnya kita kembali menatap solusi itu.
Bangsa ini butuh keberanian. Bukan hanya untuk melawan korupsi dan oligarki, tetapi juga untuk meninggalkan sistem bobrok dan menjemput sistem ilahi. Sebab hanya dengan Islam, rakyat bisa benar-benar merasakan keadilan.
Wallahu a'lam bishawab.
0 Komentar