
Oleh: Darul Al Fatih
Pemerhati Sejarah Islam
Langit malam di Makkah pernah menjadi saksi sebuah kelahiran yang menggetarkan dunia. Pada saat Nabi Muhammad ﷺ lahir, berbagai peristiwa luar biasa terjadi. Di Madain, istana Kisra mengalami retakan, sepuluh menaranya roboh, api yang selama berabad-abad disembah bangsa Persia padam, Danau Sawah mengering, sementara Wadi Samawah yang biasanya kering justru mengalirkan air. Cahaya terang bahkan tampak hingga ke istana Romawi di Syam.
Sejarawan menuturkan, peristiwa itu bukan sekadar fenomena kosmik. Ia adalah isyarat bahwa kelahiran Muhammad bin Abdullah akan meruntuhkan hegemoni dua kekuatan adidaya saat itu: Persia dan Romawi. Nabi yang lahir di tengah gurun tandus ini membawa misi besar, perubahan peradaban.
Dakwah yang Mengubah Dunia
Saat berada di Pasar Dzil Majaz, Nabi ﷺ berdiri dan menyeru dengan suara yang penuh keyakinan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ تُفْلِحُوا
“Wahai manusia, ucapkanlah Lâ ilâha illalLâh, niscaya kalian akan beruntung.” (HR. Ahmad)
Ucapan itu bukan hanya ajakan bertauhid. Lebih dari itu, ia adalah deklarasi politik: kedaulatan bukan milik manusia, melainkan milik Allah ﷻ. Sejak saat itu, dakwah beliau perlahan menumbangkan tatanan jahiliyah yang mengakar.
Dalam Perang Khandaq, Nabi ﷺ kembali menegaskan arah perubahan politiknya. Ketika memecah batu besar, beliau menubuatkan jatuhnya wilayah Syam, Persia, dan Yaman. Nubuwat itu terbukti. Di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., dua kekuatan adidaya dunia akhirnya takluk dan berada di bawah kekuasaan Islam.
Sejarah mencatat, perubahan yang dimulai dari dakwah Nabi ﷺ bukan hanya menjatuhkan rezim penguasa. Lebih jauh, ia menumbangkan sistem kufur yang mapan, lalu menggantinya dengan sistem politik Islam yang melahirkan peradaban agung berabad-abad lamanya.
People Power: Ilusi Perubahan
Berbeda dengan metode Rasulullah, di era modern banyak orang menaruh harapan pada people power. Indonesia pasca-Reformasi 1998 adalah contoh nyata. Gerakan massa berhasil menumbangkan Soeharto. Namun, apakah negeri ini benar-benar berubah?
Korupsi makin mengganas, oligarki makin menguat, utang menumpuk, hukum timpang, dan rakyat tetap miskin. Mengapa? Sebab yang runtuh hanyalah rezim penguasanya, sementara sistem politiknya tetap bertahan. Demokrasi sekuler tetap dipertahankan. Sistem yang menempatkan hukum pada hawa nafsu manusia itu justru menjadi akar segala kerusakan.
Al-Qur’an sudah memperingatkan dengan tegas:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Otoritas membuat hukum hanyalah milik Allah.” (QS. Yusuf [12]: 40)
أَفَحُكْمَ ٱلْجَـٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًۭا لِّقَوْمٍۢ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin?” (QS. al-Maidah [5]: 50)
Jelaslah, selama demokrasi bertahan, perubahan sejati tak akan pernah terwujud.
Jalan Perubahan Rasulullah
Rasulullah ﷺ memiliki metode yang terarah. Beliau tidak mengajak pada revolusi massa penuh kekerasan, melainkan menempuh jalan dakwah melalui tiga tahap:
- Tatsqîf atau pembinaan: Nabi ﷺ menanamkan ajaran Islam kepada para sahabat hingga iman mereka kokoh dan siap berjuang.
- Tafâ‘ul ma‘a al-Ummah atau interaksi dengan masyarakat: beliau menyampaikan dakwah secara terbuka sekaligus membongkar kebusukan sistem kufur yang berlaku.
- Thalab an-Nushrah (Menggalang dukungan): mencari sokongan ahlul quwwah (pemilik kekuasaan) hingga akhirnya kekuasaan diserahkan secara damai di Madinah.
Puncaknya adalah Baiat ‘Aqabah Kedua, yang menjadi fondasi berdirinya Daulah Islam pertama. Dari situlah lahir peradaban Islam yang memimpin dunia dengan keadilan, ilmu, dan kemuliaan.
Maulid Nabi: Momentum Refleksi Politik
Setiap kali Maulid Nabi diperingati, seharusnya umat tidak hanya berhenti pada lantunan shalawat belaka. Lebih dari itu, Maulid adalah momen refleksi. Pertanyaannya: jalan mana yang kita pilih?
Apakah kita masih menaruh harapan pada demokrasi yang rapuh? Ataukah pada people power yang hanya melahirkan euforia sesaat? Atau kita berani menempuh jalan yang Rasulullah ﷺ ajarkan: perubahan politik lewat jalan dakwah, hingga terwujud kembali penerapan Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah?
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa menegakkan Khilafah merupakan kewajiban syar’i, bukan sekadar opsi politik. Imam al-Mawardi dan Imam an-Nawawi menegaskan, kewajiban ini bersandar pada nash, bukan pada akal.
Maka, menjadikan Maulid Nabi ﷺ sebagai momentum kebangkitan politik Islam adalah jalan yang benar-benar bermakna. Sebab hanya dengan itu umat Islam bisa keluar dari lingkaran krisis, menuju kehidupan yang adil, mulia, dan diridai Allah ﷻ.
Wallâhu a‘lam bish-shawâb.
0 Komentar