
Oleh: Nurul Hasna
Penulis Lepas
Kabar duka kembali datang dari Gaza. Dunia internasional dikejutkan oleh serangkaian peristiwa memilukan yang menggambarkan betapa parahnya krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung di wilayah terblokade itu. Dari pembunuhan jurnalis, kelaparan massal yang mendera perempuan dan anak-anak, hingga demonstrasi di jantung Tel Aviv yang menuntut diakhirinya perang, semuanya menunjukkan satu hal: Gaza terus berlumuran darah, sementara keadilan kian jauh dari genggaman.
Pada 10 Agustus 2025, enam jurnalis Palestina terbunuh dalam serangan udara Israel di Gaza City. Sekjen PBB, António Guterres, mengecam keras tragedi itu, dan mencatat lebih dari 242 jurnalis telah meregang nyawa sejak agresi dimulai. Fakta yang dilaporkan Antara News (12/08/2025) ini bukan sekadar statistik tragis. Ia memperlihatkan pola sistematis: membunuh jurnalis berarti berusaha membungkam saksi sejarah agar genosida yang sedang berlangsung tertutup dari mata dunia.
Inilah watak rezim Zionis: ketika gagal menundukkan Gaza secara ksatria, maka jalan licik pun ditempuh, menghancurkan rumah sakit, menargetkan perempuan dan anak-anak, hingga membungkam jurnalis. Semua ini bukan sekadar “efek samping perang”, tetapi strategi sadar untuk menghancurkan perlawanan melalui penderitaan massal.
Kegagalan Dunia dan Bungkamnya Penguasa Muslim
Pertanyaannya, mengapa tragedi semacam ini bisa berulang? Jawabannya karena dua hal:
- Dunia internasional tidak pernah netral. Lembaga seperti PBB hanya mengeluarkan kecaman tanpa daya paksa. Negara-negara besar yang mengaku membela HAM justru menjadi pemasok utama senjata bagi penjajah Israel.
- Penguasa negeri-negeri Muslim memilih diam. Mereka terpenjara kepentingan geopolitik, ekonomi, dan nasionalisme sempit. Alih-alih mengerahkan kekuatan militer untuk membela Gaza, mereka justru sibuk mengutamakan stabilitas kurs mata uang, perjanjian dagang, dan pengakuan Barat.
Maka wajar jika saat ini darah Gaza terus tumpah. Bukan karena umat Islam lemah, tetapi karena potensi kekuatan umat telah dipecah-belah dan tidak terorganisasi dalam satu kepemimpinan yang menyatukan.
Islam tidak membiarkan umatnya hanya menjadi penonton penderitaan. Menolong mereka yang terzalimi adalah kewajiban syar’i, dan jihad adalah instrumen riil untuk menghentikan kezaliman. Namun jihad yang bersifat sporadis dan terpisah-pisah tidak akan mampu melawan mesin perang terorganisir seperti Israel.
Dalam Islam, sejarah membuktikan bahwa hanya dengan kepemimpinan politik yang kokoh, yaitu Khilafah, umat Islam mampu melindungi darah dan kehormatan mereka. Khilafah bukan sekadar struktur politik, melainkan institusi syar’i yang menyatukan kekuatan militer, politik, ekonomi, dan diplomasi umat untuk menjadi perisai yang efektif. Dengan Khilafah, Palestina bukan lagi “isu regional”, tetapi bagian tubuh umat yang harus dibela dengan seluruh kekuatan.
Tragedi Gaza hari ini adalah alarm keras bagi umat Islam. Dunia mungkin boleh memilih untuk bungkam, tetapi umat tidak boleh ikut diam. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan doa dan donasi, sementara akar masalah tetap dibiarkan. Persoalan Gaza, dan seluruh tragedi di negeri-negeri Muslim, hanya bisa tuntas dengan tegaknya Islam sebagai sistem hidup yang paripurna.
Hanya dengan Islam yang tegak, hanya dengan Khilafah yang hadir, mimpi pembebasan Gaza bisa menjadi kenyataan. Inilah panggilan zaman yang bersifat urgen, maka tidak boleh lagi kita abaikan.
0 Komentar