CINTA TANPA SYARIAT DILEGALKAN, NYAWA JADI TARUHAN


Oleh: Suci Musada, S.M
Aktivis Muslimah

Seorang perempuan ditemukan tergeletak bersimbah darah di sebuah rumah yang berlokasi di Jalan Pukat II, Medan Tembung. Tubuhnya penuh luka tikaman, jantungnya telah berhenti berdetak. Kekasihnya, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, malah ditetapkan polisi sebagai tersangka pembunuhan. Malam itu, cinta berubah menjadi maut (Medan Bisnis Daily, 25/08/2025).

Kasus ini menambah panjang daftar tragedi serupa: pasangan saling menghabisi, orang tua membunuh anaknya, hingga remaja tega menganiaya teman dekatnya. Semua ini bukanlah kebetulan, melainkan potret rusaknya tatanan masyarakat hari ini.

Pergaulan bebas hanyalah salah satu produk dari sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini sengaja membiarkan syahwat bebas karena industri seks, hiburan, dan gaya hidup merupakan ladang bisnis raksasa. Pornografi dijual bebas, alkohol tersedia di mana-mana, musik dan film merangsang syahwat tanpa batas. Semua ini melahirkan generasi rapuh, individualis, dan miskin moral.

Kapitalisme tidak peduli meskipun masyarakat rusak, yang penting industri tetap berjalan dan keuntungan terus mengalir. Negara yang tunduk pada kapitalisme pun membuat hukum longgar: zina tidak dihukum, pacaran dibiarkan, bahkan prostitusi dilindungi atas nama pariwisata. Inilah wajah sistem busuk yang hari ini membentuk masyarakat kita.

Maka jangan heran jika dari rahim kapitalisme lahir generasi yang tega menusuk kekasihnya, memutilasi pasangannya, atau membuang bayi hasil zina ke tong sampah. Semua itu merupakan konsekuensi logis dari ideologi yang menjadikan hawa nafsu sebagai standar hidup.

Kapitalisme menempatkan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Manusia dibiarkan menuruti hawa nafsunya sebebas mungkin tanpa memedulikan halal atau haram. Dari sinilah lahir budaya pergaulan bebas: pacaran, seks di luar nikah, hubungan tanpa ikatan sah, hingga perilaku menyimpang lainnya.

Pacaran hari ini dianggap hal yang wajar. Anak muda bahkan remaja sekolah bebas berduaan, tinggal serumah tanpa ikatan, atau berhubungan layaknya suami istri meskipun tanpa pernikahan. Negara tidak hadir melindungi, justru melegalkan dengan dalih kebebasan pribadi. Media, film, dan musik turut menormalisasi hubungan bebas. Akibatnya, generasi tumbuh dengan pemahaman: selama suka sama suka, semuanya diperbolehkan.

Namun, di balik wajah manis pergaulan bebas, tersembunyi bom waktu mematikan. Hubungan pacaran kerap berakhir dengan konflik: cemburu, perselingkuhan, tekanan psikologis, hingga kekerasan. Banyak kasus pembunuhan sadis justru terjadi di antara pasangan pacaran.

Di Medan, seorang pria tega menghabisi nyawa kekasihnya. Di Jakarta, seorang remaja tega menghabisi nyawa pacarnya akibat kehamilan di luar nikah, sementara di berbagai daerah lain kerap terjadi kasus mutilasi dan kekerasan seksual dalam hubungan pacaran. Semua ini adalah buah pahit dari sistem yang melegalkan pergaulan bebas.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini terjadi karena sekularisme, sebagai akar ideologi kapitalisme, telah menyingkirkan agama dari sendi-sendi kehidupan. Agama hanya dianggap penting di masjid, tetapi tidak boleh ikut campur dalam urusan sosial, hukum, dan hubungan manusia.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam justru datang untuk menutup celah pergaulan bebas. Islam tegas melarang pacaran, menutup peluang khalwat, serta mengharamkan zina Dalam Islam, hubungan laki-laki dan perempuan diatur dengan ketat: ada aturan tentang ikhtilat, khalwat, aurat, dan zina. Semua itu bukan untuk membatasi kebebasan manusia, melainkan untuk melindungi kehormatan dan menjaga nyawa.

Islam memerintahkan pernikahan sebagai satu-satunya jalan sah untuk menyalurkan kebutuhan biologis. Aturan ini bukan untuk mengekang, melainkan menjaga martabat manusia. Selain itu, Islam menetapkan hukuman tegas: pezina yang belum menikah dicambuk 100 kali, sedangkan pezina yang sudah menikah dirajam hingga mati. Sanksi ini bukanlah wujud kekejaman, melainkan bentuk pencegahan agar zina tidak terjadi, karena zina bukan sekadar dosa individu, melainkan pintu kehancuran masyarakat.

Untuk kasus pembunuhan, Islam menetapkan qishash atau diyat. Nyawa pelaku dibalas dengan nyawa, atau diganti dengan diyat setara 100 ekor unta. Aturan ini membuat manusia berpikir ribuan kali sebelum mengangkat pisau atau senjata.

Dengan kata lain, Islam menutup jalan menuju kejahatan sekaligus menegakkan hukum tegas jika kejahatan terjadi. Inilah yang menjadikan masyarakat Islam di masa lalu aman dari kriminalitas brutal seperti yang kita saksikan hari ini.

Hanya dengan kembali kepada Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh, masyarakat akan selamat dari kebiadaban ini. Islam menutup celah zina, menjaga kehormatan perempuan, mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, serta menegakkan hukum yang melindungi nyawa.

Jika kita tetap bertahan dalam kapitalisme, tragedi di Medan hanya akan menjadi satu episode dari rangkaian panjang kebiadaban manusia. Namun, jika kita berani kembali kepada Islam, darah benar-benar akan bernilai, nyawa akan dijaga, dan cinta tidak lagi berakhir dengan tikaman maut.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar