MENGAPA HADIS JARANG DIAJARKAN MENDALAM DI SEKOLAH?


Oleh: Darul Iaz
Aktivis Dakwah

Hadis itu ribet.” Kalimat ini mungkin pernah kita dengar, bahkan dari mulut guru agama sendiri. Ironisnya, di ruang kelas kita lebih banyak diajarkan hafalan rukun iman, rukun Islam, atau sekadar kisah-kisah Nabi, sementara hadis (sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an) hanya disentuh di permukaan. Tak heran, banyak umat Islam tumbuh besar tanpa memahami betul apa itu hadis, bagaimana kedudukannya, dan mengapa ia penting bagi kehidupan seorang muslim.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa hadis jarang diajarkan secara mendalam di sekolah-sekolah kita?


Pendidikan Agama yang Serba Formalitas

Di bangku sekolah, pelajaran agama kerap diperlakukan sebagai pelengkap, bukan fondasi. Hadis sekadar disebut sebagai “perkataan Nabi”, tanpa penjelasan metodologi, validasi sanad, atau perannya dalam menjelaskan Al-Qur’an. Akibatnya, generasi muslim mengenal hadis hanya dari potongan-potongan yang berseliweran di media sosial, entah shahih, dhaif, atau bahkan palsu.

Padahal, Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan:

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Hadis ini mutawatir, sahih tanpa keraguan. Namun bagaimana mungkin umat bisa berhati-hati terhadap hadis palsu, jika ilmu tentang hadis tidak pernah benar-benar diajarkan?


Dampak: Umat yang Rentan dan Terpecah

Minimnya pengajaran hadis melahirkan umat yang rawan diseret opini dangkal. Contoh paling sederhana: hadis-hadis lemah seperti “Tidur adalah ibadah” atau “Sunah Rasul malam Jumat” masih diyakini banyak orang, padahal para ulama menegaskan itu tidak sahih. Lebih parah lagi, sebagian kelompok menggunakan hadis secara cherry picking (memilih yang sesuai selera, misalnya untuk membenarkan poligami, pakaian tertentu, atau sekadar gaya hidup) tanpa memahami keseluruhan syariat Islam.

Akibatnya, umat terjebak pada simbol dan perdebatan teknis, alih-alih menangkap esensi dakwah Rasul: membangun masyarakat Islam yang kuat, adil, dan taat pada hukum Allah. Pendidikan Islam yang dangkal menjadikan umat mudah dipecah, bahkan sesama muslim saling menuduh hanya karena perbedaan penafsiran hadis.


Solusi Islam: Menghidupkan Studi Hadis dalam Pendidikan

Islam tidak hanya menuntut umatnya membaca Al-Qur’an, tetapi juga meneladani Rasulullah ﷺ dalam ucapan, perbuatan, dan sikapnya. Hadis adalah panduan praktis yang menghidupkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan nyata. Shalat, zakat, haji, semua tata caranya kita kenal lewat hadis. Tanpa hadis, ibadah menjadi kering dan syariat Islam tidak bisa dijalankan secara utuh.

Karena itu, pendidikan Islam mesti kembali diarahkan pada pembelajaran hadis yang mendalam, terstruktur, dan ideologis. Bukan sekadar hafalan, tetapi pemahaman menyeluruh tentang sanad, matan, serta peran hadis dalam membentuk peradaban Islam. Generasi muda harus dipandu agar tidak terjebak pada hadis palsu, melainkan terbiasa menguji keabsahan riwayat dan mengamalkan yang sahih.

Inilah yang dulu dilakukan para ulama muhaddits seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim. Mereka rela menempuh perjalanan belasan tahun demi memverifikasi satu hadis. Ketekunan ini seharusnya menjadi teladan dalam mendidik generasi muslim hari ini.


Saatnya Kembali Serius pada Hadis

Jika umat Islam ingin bangkit, tidak cukup hanya puas dengan Al-Qur’an yang dibaca tanpa dipahami, atau hadis yang dihafal tanpa diuji. Kita butuh pendidikan Islam yang menyeluruh, yang menekankan pentingnya hadis sebagai penjelas Al-Qur’an sekaligus pedoman hidup.

Sudah saatnya sekolah-sekolah Islam berhenti mengajarkan agama sekadar formalitas. Umat harus diajak kembali memahami hadis secara jernih, sebagaimana para sahabat meneladani Rasulullah ﷺ. Tanpa itu, kita hanya akan terus memelihara umat yang rentan, tercerai-berai, dan jauh dari kekuatan Islam yang sebenarnya.

Bangkitnya peradaban Islam bergantung pada sejauh mana kita kembali menghidupkan hadis dalam pendidikan dan kehidupan. Karena mencintai Allah tak cukup dengan klaim, tetapi dengan benar-benar ittiba’ pada Rasul-Nya:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ
Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.' ” (QS. Ali Imran: 31).

Posting Komentar

0 Komentar