KEMBALI KE UUD 45 ATAU KE PIAGAM MADINAH?


Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Hari ini, Kamis 17 Desember 2020, bertempat di Restoran Pulau Dua, Jl. Gatot Soeroto, Senayan, Jakarta, ada agenda diskusi publik yang mengundang sejumlah nara sumber, diantaranya Prof. M. Amien Rais, KH. Dr. Muhiddin Junaidi, Dr. Abdullah Hehamahua, Prof. Dr. Chusnul Mar’iyah, Dr. Refly Harun, Dr. Abdul Chair, Dr. Buchori Muslim, Dr. Tony Rosyid, KH Ansyufri Sambo, Neno Warisman, Dll.

Penyelenggara acara dari Koalisi Anak Bangsa Untuk Keadilan (KABUK) meyebut acara diselenggarakan sehubungan dengan adanya penyampaian sikap dan tuntutan atas perkembangan kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara yang semakin memprihatinkan.

Tak berselang lama, Bang Hatta Taliwang japri WA ke penulis, ingin ketemuan dalam forum tersebut. Namun penulis belum bisa janjikan, karena sedang ngurusi perkara klien dan tidak tahu akan selesai jam berapa. Artikel ini ditulis, dalam kegiatan pengurusan perkara, sambil menunggu antrian panggilan dari otoritas sebuah lembaga di Jakarta Timur.

Bang Hatta Taliwang, ingin ngobrol tentang konsepsi Pancasila dan UUD 45. Sejumlah kalangan menilai, bahasan ini memang bahasan paling mendasar, terkait hulu dari semua problematika yang menimpa bangsa ini.

Tidak berselang lama, dibeberapa GWA muncul tautan YouTube yang berisi video penyampaian paparan Bang Hatta Taliwang tentang palsunya UUD 45 yang saat ini diberlakukan. Setidaknya, ada 6 (enam) argumentasi UUD 45 palsu.

Tidak adanya Bab IV dalam UUD 45, perubahan norma pasal hingga 300 % lebih, penyebutan UUD 45 yang manipulatif karena yang benar semestinya disebut UUD 2002, tidak adanya nomor amandemen, hingga soal tak adanya agenda amandemen baik yang diamanatkan GBHN maupun aspirasi yang disampaikan partai politik ketika itu. Ujug-ujug (tiba-tiba, sekonyong-konyong) UUD 45 diamandemen.

Kemudian, Bang Hatta Taliwang membahas dengan menyitir bukunya terkait fakta apakah kembali ke UUD 45 asli merupakan sebuah solusi atau masalah baru. Apakah, kembali kepada UUD 45 dapat dimaknai mundur ke belakang, kembali ke Orde Baru?

Kemudian, disampaikan pula kritik pada sistem Pilpres langsung dengan konsep 'One Man One Vote'. Menurutnya, sistem ini bertentangan dengan konsepsi 'permusyawaratan' yang menjadi asas dalam Pancasila. Sistem Pilpres yang berbasis demokrasi liberal, menghasilkan pemimpin dengan kualitas rendah.

Berbeda dengan sistem musyawarah yang dapat menghasilkan pemimpin terbaik diantara kaumnya. Bang Harta, lantas mencontohkan bagaimana rekrutmen kepemimpinan di Muhammadiyah yang dilakukan secara musyawarah dan mufakat.

Kembali ke Piagam Madinah

Penulis belum terlalu tahu rincian tentang konsepsi pemikiran untuk kembali ke UUD 45 sebagaimana banyak di wacanakan, khususnya seperti apa yang selama ini disuarakan oleh Dr. Zulkifli S EKomei. Sampai-sampai Bang Hatta Taliwang berseloroh, apapun bahasannya Dr Zul ini selalu mewacanakan kembali ke UUD 45 sebagai solusinya.

Tetapi penulis ingin memberikan sumbangsih pemikiran, dengan menyampaikan alternatif solusi. Jika banyak yang menyampaikan solusi kembali ke Pancasila dan UUD 45 asli yang disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945, maka penulis punya wacana lain.

Penulis hanya tak ingin, kita terbawa narasi tertentu, tidak menyiapkan narasi alternatif, ketika narasi tertentu itu buntu kita kehilangan arah. Sebagai contoh, saat Orde Baru tumbang, semua bernarasi tentang Reformasi.

Saat itu kata 'Reformasi' seperti jampi sihir. Kalau tidak berteriak Reformasi, dianggap bukan pejuang. Kalau tidak berteriak Reformasi, dianggap pro status quo.

Hingga akhirnya, Reformasi yang menghasilkan sejumlah amandemen konstitusi saat ini 'dicaci maki'. Muncul anggapan bawah sadar, masih enak zaman Soeharto ketimbang era saat ini.

Maksud penulis, narasi yang kita gaungkan tidak saja kembali ke UUD 45 asli, tapi lebih jauh. Yakni kembali ke Konstitusi Madinah, konstitusi pertama yang dibangun Rasulullah Saw 13 Abad silam. Atau kalaupun kita ingin kembali kepada kesepakatan para pendahulu, bukan kembali pada kesepakatan UUD 45, tapi kembali kepada kesepakatan para sahabat RA, yang pasca meninggalnya Rasullullah Saw Ijma' melanjutkan kekuasaan Rasulullah Saw yang dibangun di Madinah dengan menegakkan Khilafah.

Saat itu, para sahabat telah mengetahui ada sistem lain, ada kekaisaran, ada kerajaan, seperti imperium Romawi dan Kerajaan Persia. Namun, para sahabat tidak mengambil sistem kerajaan atau kekaisaran yang meletakkan kedaulatan ditangan Raja dan Kaisar. Tetapi, sahabat melanjutkan Daulah Islam yang dibangun Rasulullah Saw yang meletakkan kedaulatan ditangan Syara', dengan mendirikan Kekhilafahan Islam yang melanjutkan kekuasaan Nabi Muhammad Saw.

Pemilihan pemimpin (Khalifah) juga cukup dilakukan dengan musyawarah, tanpa kampanye berlarut larut. Semua sahabat tahu bagaimana kualitas Abu Bakar, tanpa Abu Bakar berkampanye mencalonkan sebagai Khalifah. Para sahabat, kurang dari 3 hari telah mampu menentukan pemimpin pengganti Rasulullah Saw, Dialah Abu Bakar RA, Khalifah pertama Kekhilafahan Islam.

Kembali ke Piagam Madinah, narasi ini maknanya mengadopsi konstitusi yang bersumber dari Al Qur'an dan as Sunnah. Tentu saja, konstitusi Madinah secara formal tak relevan untuk mengatur urusan berbangsa dan bernegara di era saat ini, dengan kompleksitas problem bernegara yang jauh lebih rumit. Karena itu, butuh ijtihad dengan mengistimbath dalil yakni Al Qur'an dan as Sunnah, untuk mengeluarkan Rancangan Undang-undang Dasar yang dijadikan dasar pengaturan pemerintahan dan berbagai urusan Umat.

Alhamdulillah, Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma'il bin Yusuf an-Nabhani, seorang ulama dari Al Quds yang menjadi pendiri Hizbut Tahrir, telah berijtihad dan mengeluarkan RUU Khilafah. Sebuah hukum dasar bernegara, yang kelak akan menjadi konstitusi Negara Khilafah.

Ditinjau dari format dan substansi, rancangan UUD Khilafah ini sangat layak diadopsi untuk menjawab kompleksitas bernegara era now, meskipun tak menutup kemungkinan adanya sejumlah masukan untuk menyempurnakan. Namun, sebagai sebuah draft, UUD atau Dustur, atau Konstitusi yang dirancang Hizbut Tahrir ini layak untuk didiskusikan sebagai alternatif solusi bagi masa depan bangsa ini.

Lagipula, perjuangan ini dasarnya akidah Islam dan bertujuan meraih ridlo Allah SWT. Dengan mengikuti jejak Rasulullah Saw di Madinah, mengikuti ijma' sahabat yang mendirikan Khilafah, tentulah lebih selamat ketimbang mengikuti jejak Soekarno dengan Pancasila 18 Agustus atau bahkan 1 Juni yang disampaikannya. [].

Posting Komentar

0 Komentar