MASA DEPAN HUKUM DI INDONESIA? MADESU!


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Pada Hari Sabtu 26 Desember 2020, Penulis diundang untuk menjadi salah satu Nara Sumber dalam Diskusi Zoom Meeting mengambil tema : REFLEKSI Akhir Tahun 2020 dan OUTLOOK Perjuangan Ummat Islam di Masa Depan. Acara diadakan oleh Forum Kajian Masa Depan Islam (FKMDI).

Penulis masih ingat satu istilah lama yang masih relevan untuk mewakili kondisi hukum yang akan terjadi pada tahun 2021. Madesu. Maksudnya, masa depan hukum Indonesia di tahun 2021 akan suram. Darimana prediksi atas simpulan ini diperoleh?

Penegakan hukum di tahun 2020 ini bisa kita jadikan cermin refleksi yang akan menggambarkan keadaan di tahun 2021. Keadaan di tahun 2021 (Outlook) tak akan jauh berbeda dengan tahun 2020. Apabila hukum di 2020 baik, baik pula di tahun 2021, bila sebaliknya maka kondisinya juga akan buruk.

Kita akan menelaah secara mendalam fakta hukum dan penegakan hukum di negeri ini dalam beberapa perspektif :

Pertama, perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi trend di tahun 2020 adalah konfirmasi adanya pengaruh kuat politik terhadap hukum, sehingga hukum benar-benar berada dibawah kendali kekuasaan politik. Hukum tak lagi menjadi panglima, melainkan politik lah yang berkuasa atas hukum.

Terbitnya sejumlah Perppu dan UU yang bertentangan dengan hukum dan aspirasi publik, bahkan cenderung sengaja mengabaikan publik baik dalam proses hingga pemberlakuannya, menjadikan Indonesia seolah bukan lagi negara hukum (rechtstsaat) melainkan telah berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Ambil contoh, ketika Presiden tetap keukeuh menerbitkan Perppu Covid-19, atau DPR tetap ngotot mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Dua produk hukum ini ditentang publik, telah banyak yang berdemo menentangnya, namun penguasa tetap menggunakan logika kekuasaan. Logika itu adalah bahwa penguasa punya wewenang untuk mengeluarkan UU, tak peduli bahwa UU itu bertentangan dengan hukum dan ditolak publik.

Penulis kira pada tahun 2021 trend nya tidak akan jauh beda. Misalnya, RUU HIP yang telah ditolak publik ternyata secara diam-diam oleh DPR dimasukan kembali pada Prolegnas tahun 2021. Hal ini mengkonfirmasi penguasa masih menggunakan logika kekuasaan dalam menyelenggarakan proses pemerintahan.

Kedua, proses penegakan hukum yang dilakukan institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, juga menjadi pelayanan penguasa. Ada semacam trend mereka bukan lagi menjadi alat negara tetapi telah menjadi alat penguasa.

Hal itu nampak pada masifnya kriminalisasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, terutamanya yang menggunakan sarana UU ITE. kriminalisasi dipaksakan dilakukan pada sejumlah peristiwa yang sebenarnya bukan pidana tetapi dipaksakan menjadi pidana oleh aparat berwenang.

Peristiwa ini umumnya aktivitas menyampaikan pendapat yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara dan aktivitas dakwah yang merupakan ibadat menurut keyakinan agama Islam. Kedua aktivitas ini dikriminalisasi menjadi tindakan pencemaran, penyebaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA, adakalanya dianggap Hoax.

Pasal 45A ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3), pasal 45A ayat (3) Jo pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, termasuk pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana, adalah pasal langganan yang digunakan untuk menangkapi ulama dan para aktivis.

Diskriminasi tampak pada pembedaan perlakuan terhadap sejumlah orang yang pro rezim, yang telah nyata melakukan pidana baik penghinaan agama, ulama dan ajaran Islam yang dibiarkan bebas. Tak ada sikap tegas terhadap mereka. Nama-nama seperti Abu Janda, Deni Siregar, Ade Armando, dll, adalah bukti kongkritnya.

Karena itu, pembungkaman sikap kritis terhadap rakyat terutama yang diwakili oleh ulama dan aktivis dengan kriminalisasi dan diskriminatif ini akan tetap menjadi trend penegakan hukum di tahun 2021.

Publik agak sulit berharap kontrol dari pengadilan. Mengingat, pada umumnya hakim 'terpaksa' memvonis bersalah semua perkara kriminalisasi dan diskriminasi yang dibawa Jaksa dari hasil penyidikan polisi. Hakim, tentu memiliki beban psikologis jika membebaskan terdakwa, karena akan menimbulkan kesan Jaksa dan Polisi tak becus menangani perkara.

Ketiga, Elemen Civil Society masih belum sepenuhnya melawan. Tapi ada kecenderungan perubahan, ada sejumlah peningkatan perlawanan hukum publik terhadap sejumlah persoalan hukum di negeri ini. Penulis kira, poin ketiga ini agak memberi harapan akan adanya perubahan.

Pada akhirnya, kondisi hukum di tahun 2021 tidak saja ditentukan oleh kezaliman penguasa tetapi juga keberanian rakyat untuk terlibat aktif mengontrol dan meluruskannya. Tinggal kita lihat, apakah kekuatan rezim masih diatas kekuatan kontrol civil society.

Nampaknya, peristiwa penembakan 6 anggota FPI oleh anggota Polda Metro Jaya akan merubah bandul kesetimbangan politik. Lagi lagi, selain kondisi tahun ini akan menjadi cermin hukum di tahun 2021, sikap dan visi besar rakyat untuk hukum di tahun 2021 juga sangat menentukan corak hukum yang akan hadir di tahun 2021.

Kabar gembiranya, Madesu hukum di tahun 2021 masih bisa berubah menjadi Madecer ,(Masa Depan Cerah) jika rakyat, semua komponen civil society (masyarakat sipil) mau bersatu dan berjuang untuk merubah keadaan. Mengingat, Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu kaum jika kaum itu sendiri tak mau merubahnya. [].

Posting Komentar

0 Komentar