MENGKRITIK PENDAPAT HB. ALMASCATY TERKAIT KHILAFAH


[Catatan Tanggapan Untuk Artikel Berjudul 'MENGKRITISI FAHAM KHILAFAHISME HIZBUT TAHRIR']

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Saya cukup memberikan apresiasi terhadap siapapun yang mendiskusikan Khilafah termasuk dengan cara mengkritik atau mempersoalkan Khilafah yang dinisbatkan pada kelompok tertentu, dalam hal ini Hizbut Tahrir. Sebab, diskusi semacam ini bisa dijadikan 'Jembatan Pemikiran' atas adanya perbedaan pandangan. Boleh jadi, perbedaan itu bukan hal yang objektif, tetapi bisa jadi salah paham atau pahamnya yang salah. Sehingga, perbedaan yang demikian akan mudah diluruskan.

Dalam mengomentari tulisan Pengasuh The Renaissance House (Rumah Pencerahan), sebelum memasuki substansi saya mengajukan kritik formal terkait sistematika tulisan, sebagai berikut :

Pertama, judul tulisan membahas tentang kritik Khilafah Hizbut Tahrir. Namun, dalam tulisan tidak disebutkan sumber rujukan primer berupa rujukan kitab-kitab Hizbut Tahrir atau sumber sekunder berupa hasil wawancara dengan aktivis yang merepresentasikan Hizbut Tahtir (dalam hal ini di Indonesia misalnya Jubir HTI), sehingga pembaca paham objek yang dikritik, dasar mengkritik, dan hasil kritikan.

ALMASCATY justru merujuk pendapat penulis lain yang juga punya pandangan berbeda dengan Hizbut Tahrir seperti cendekiawan asal Iraq Prof. Ali Allawi atau Almaududy, atau berbasis buku The Crisis of Islamic Civilization, yang bukan orang Hizbut Tahrir bukan pula kitab yang diadopsi Hizbut Tahrir.

Hizbut Tahrir sendiri dalam aktivitas dakwahnya untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan memperjuangkan Khilafah telah mengadopsi sejumlah kitab sebagai panduan perjuangan.

Diantara kitab yang dibuat dan diadopsi sebagai panduan perjuangan Hizbut Tahrir seperti Kitab Nizhâm al-Islâm (Islam Struktural), Kitab Nizhâm al-H ukm fî al-Islâm (Sistem Pemerintahan Islam), Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam).

Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ‘î fî al-Islâm (Sistem Pergaulan Pria-Wanita dalam Islam), Kitab At-Takattul al-H izbî (Politik Partai: Strategi Partai Politik Islam), Kitab Mafâhm H izbut Tahrîr (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir), Kitab Ad-Dawlah al-Islamiyyah (Daulah Islam), Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Membentuk Kepribadian Islam, tiga jilid), Kitab Mafâhîm Siyâsah li Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir), Kitab Nadharât Siyâsiyah li Hizbut Tahrir (Beberapa Pandangan Politik menurut Hizbut Tahrir), Kitab Muqaddimah ad-Dustûr (Pengantar Undang-undang Negara Islam) Kitab Al-Khilâfah (Khilafah), Kitab Kayfa Hudimat al-Khilâfah (Dekonstruksi Khilafah: Skenario di Balik Runtuhnya Khilafah Islam), Kitab Nizhâm al-‘Uqûbât (Sistem Peradilan Islam), Kitab Ahkâm al-Bayyinât (Hukum-hukum Pembuktian dalam Pengadilan)

Kitab Naqd al-Isytirâkiyyah al-Marksiyah (Kritik atas Sosialisme-Marxis).

Kitab At-Tafkîr (Nalar Islam: Membangun Daya Pikir), Kitab Sur‘ah al-Badîhah (Mempercepat Proses Berpikir), Kitab Al-Fikr al-Islâmî (Bunga Rampai Pemikiran Islam), Kitab Naqd an-Nadhariyah al-Iltizâmi fî Qawânîn al-Gharbiyyah (Kritik atas Teori Stipulasi dalam Undang-undang Barat), Kitab Nidâ’ Hâr (Panggilan Hangat dari Hizbut Tahrir untuk Umat Islam), Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdhiyyah al-Mutsla (Politik-Ekonomi Islam).

Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan dalam Negara Khilafah), Struktur Daulah Khilafah Islamiyah Min Muqowwimat an Nafsiyyah Al Islamiyyah (Pilar-pilar nafsiyah Islamiyah).

Tak ada satupun kitab Hizbut Tahrir diatas yang dijadikan rujukan. Jadi, tulisan ALMASCATY tidak dapat dikategorikan sebagai kritik terhadap Hizbut Tahrir, yang lebih tepat judulnya adalah 'Mengarang Indah Tentang Hizbut Tahrir'.

Kedua, ALMASCATY memasukkan terma yang tidak dikenal oleh Hizbut Tahrir seperti Khilafahisme, atau Khilafah Nusantara. Sehingga, tulisannya tak layak dinisbatkan sebagai kritikan terhadap Hizbut Tahrir tetapi lebih tepatnya pandangan ALMASCATY tentang Khilafah Nusantara dan Khilafahisme.

Ketiga, karena yang dikritik adalah Khilafah, semestinya ALMASCATY mengawalinya pembahasan dari Definisi Khilafah. Dari definisi khilafah menurut pandangan para ulama hingga masuk ke definisi yang dijadikan Ta'rif oleh Hizbut Tahrir dan pandangan ALMASCATY terjadi definisi Khilafah.

Saat masuk dalam bahasan Khilafah Nusantara dan Khilafahisme pun, ALMASCATY tidak mendefinisikannya. Dia, lantas 'mengarang indah' atas sejumlah terma yang kemudian dianggap ideal dan keluar dari pembahasan Khilafah Hizbut Tahrir yang dikritiknya.

Keempat, sesungguhnya Khilafah adalah ajaran Islam yang agung. Berusaha mendeskreditkan Khilafah hanya karena diperjuangkan Hizbut Tahrir akan membahayakan Umat dan penulisnya. Umat akan dijauhkan dari makna dan hakekat Khilafah yang agung, kemudian Umat ditarik pada pemahaman Khilafah itu ISIS, pemecah belah, menyebabkan konflik di Suriah dan timur tengah, dan seterusnya.

Padahal, konflik timur tengah dan dunia Islam itu karena kejahatan kapitalisme dan penjajahan Amerika. Bukan karena Khilafah. Dahulu, ketika Khilafah masih ada umat Islam dan dunia hidup damai dibawah keadilan peradaban Islam yang ditopang oleh Khilafah.

Mendeskreditkan Khilafah padahal Khilafah merupakan kewajiban yang agung, tentu suatu pemikiran yang bermasalah. Mengenai kewajiban Khilafah, Para ulama mu’tabar dari berbagai madzhab telah bersepakat atas kewajiban menegakkan Imamah atau Khilafah.

Tentu pernyataan mereka adalah merupakan hasil istinbâth mereka dari dalil-dalil syariah, baik hal itu mereka jelaskan ataupun tidak.

Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi berkata, “…Sesungguhnya mengangkat imam (khalifah) yang agung itu adalah fardhu. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul-haq…

Syaikh al-Islam al-Imam al-Hafidz Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafii berkata:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …
Umat Islam wajib memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, memberikan hak bagi orang yang dizalimi, menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan, menegakkan Imamah adalah fardhu kifayah.

Imam Fakhruddin ar-Razi, penulis kitab Manâqib asy-Syâfi’i, saat menjelaskan QS al-Maidah [5] ayat 38, menegaskan, “Para mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam (khalifah) untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah SWT telah mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pezina. Tentu harus ada seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam (khalifah)…Karena itu kewajiban mengangkat imam (khalifah) adalah hal yang pasti.”

Imam al-Qurtubi, seorang ulama dan mufassir mazhab Maliki, ketika menakwilkan QS al-Baqarah ayat 30, berkata, “Ayat ini adalah pokok (yang menegaskan) keharusan mengangkat imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati…Tidak ada perbedaan tentang kewajiban ini di antara umat; tidak pula di antara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-‘Asham.”
Penjelasan Imam al-Qurthubi di atas ditegaskan lagi oleh Al-Hafidz Ibn Katsir asy-Syafii saat menakwilkan surah dan ayat yang sama:

وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام.
Sungguh al-Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas kewajiban mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong orang dizalimi dari yang menzalimi, menegakkan hudûd, mengenyahkan kerusakan dan berbagai perkara penting lainnya yang tidak mungkin semua itu dilakukan kecuali oleh Imam (Khalifah).

Imam Abul Qasim an-Naisaburi asy-Syafii berkata:

أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله {فاجلدوا} هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام.
Umat Islam telah bersepakat bahwa yang menjadi obyek khithâb Allah SWT, “Karena itu cambuklah” adalah imam (khalifah). Karena itulah mereka berhujjah atas kewajiban mengangkat imam (khalifah).

Imam Abu al-Hasan al-Mirdawi al-Hanbali dalam kitab Al-Inshâf:

نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ.
Mengangkat imam (khalifah) adalah fardhu kifayah.

Begitulah penegasan para ulama mu’tabar tentang kewajiban mengakkan Khilafah Islam sebagai sistem pemerintahan satu-satunya yang sah secara syar’i. Tentu kalau bukan karena terbatasnya ruang, bisa lebih banyak lagi dituliskan pendapat ulama mu’tabar tentang kewajiban mengangkat imam (khalifah) ini.

Saya kira, tulisan ini cukup untuk mengkritisi ALMASCATY dan tak perlu lebih jauh masuk ke substansi. Sebab, substansi dongeng dalam tulisannya bukan lagi mengkritik Khilafah atau Hizbut Tahrir, tapi hanya sejumlah cerpen tentang pandangannya atas hal-hal yang berada pada area diluar Khilafah dan Hizbut Tahrir. [].

Nb.
  1. Penulis adalah anggota Hizbut Tahrir.
  2. Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan pendapat atau pandangan resmi Hizbut Tahrir.

Posting Komentar

0 Komentar