
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Ada praduga yang keliru, ketika menanggapi wacana penerapan syariat Islam secara kaffah, penegakkan hukum Allah SWT, menganggap negeri ini telah sempurna karena telah memiliki Pancasila. Bahkan, negeri ini memiliki 'Kesepakatan Suci' yang dibuat para pendiri bangsa, sehingga tak boleh diingkari.
Pancasila, diklaim sebagai alat pemersatu bangsa. Meskipun sepanjang sejarahnya, Pancasila selalu dijadikan alat politik penguasa untuk merepresi umat Islam.
Zaman Orla, Soekarno bersikap zalim kepada umat Islam, membubarkan Masyumi yang merupakan wadah persatuan ummat Islam, juga memenjarakan Buya Hamka, berdalih menegakkan Pancasila. Kemudian, demi dalih persatuan Soekarno memaksakan doktrin Nasakom untuk memaksa Umat Islam melepaskan akidah politiknya dalam mengurusi urusan umat.
Zaman Soeharto (Orde Baru), Pancasila juga dijadikan alat politik bukan alat persatuan. Semua yang berbeda diberangus, diterapkan hukum besi, dan ujungnya Soeharto juga jatuh sebagaimana jatuhnya Soekarno.
Hari ini, atas dalih Pancasila, dalih persatuan, rezim Jokowi justru merepresi ormas Islam, mengkriminalisasi ulama hingga banyak yang masuk penjara. Kalau ditanya, apakah kelakuan rezim ini demi menjaga Pancasila? Jawab mereka, pasti iya.
Pada saat yang sama, narasi Pancasila diam seribu bahasa ketika menghadapi pemberontakan OPM. BPIP sebagai lembaga pengarah Pancasila, hanya sibuk dengan narasi radikal radikul.
Sebagai seorang muslim, sebenarnya kita ini lebih bersyukur atas karunia Allah SWT berupa Al Qur'an dan as Sunnah atau Pancasila? Yang menyatukan umat ini Pancasila atau Al Qur'an dan as Sunnah? Atau, sederhananya Umat ini disatukan dengan akidah Islam atau oleh Pancasila? Pasti jawabannya oleh Islam.
Namun, kemudian dimunculkan keadaan yang heterogen, masyarakat yang majemuk, sehingga Al Qur'an dan as Sunnah dianggap tak mampu memberikan solusi atas hal itu. Apakah, Pancasila lebih sempurna ketimbang Al Qur'an dan as Sunnah?
Nyatanya, Al Qur'an dan as Sunnah itu diturunkan untuk seluruh manusia, sebagai Rahmatan Lil Alamien. Syariat Islam juga mengatur seluruh manusia, bukan hanya mengatur umat Islam.
Saat di Madinah, negara yang didirikan Rasulullah Saw juga sangat majemuk. Ada Islam, Yahudi, Nasrani juga kaum musyrikin Majusi. Yahudi saja ada tiga kelompok besar, yakni Yahudi Bani Nadhir, Bani Qoinuqo dan Bani Quraizah. Semua itu diatur dengan Al Qur'an dan as Sunnah, bukan dengan Pancasila. Mereka semua disatukan dengan konstitusi Madinah, yang merupakan Wahyu Allah SWT melalui Rasulullah Saw.
Daulah Khilafah era sepeninggal Rasulullah Saw, wilayahnya sangat luas, hingga nyaris 2/3 dunia. Didalamnya terdapat unsur-unsur yang sangat majemuk, baik Agama, Bangsa, Suku, Keyakinan, dll. Nyatanya, semua bisa dipersatukan dengan Al Qur'an dan as Sunnah.
Lantas, kenapa seolah hari ini Al Qur'an dan as Sunnah tak mampu menyatukan? Kenapa, seolah Al Qur'an dan as Sunnah hanyalah untuk mengatur umat Islam? Kenapa, selalu muncul narasi negeri yang majemuk? Memangnya, Khilafah dahulu hanya sebesar kecamatan tambun, dan hanya dihuni orang Betawi dan Sunda?
Karena itulah, saya merasa narasi Pancasila pada faktanya sering digunakan untuk menolak hukum Allah SWT. Seolah, Al Qur'an dan as Sunnah harus tunduk pada Pancasila. Seolah, Wahyu Allah SWT wajib berada dibawah kesepakatan manusia.
Lagipula, Pancasila bukanlah kesepakatan bangsa. Fakta sejarah menyebutkan, ada banyak versi Pancasila. Pancasila yang diadopsi penguasa lah yang berlaku, sementara versi rakyat selalu disalahkan.
Karena itu, saya tidak mengambil bagian berjuang dengan mencari legitimasi dari Pancasila. Saya, mencukupkan berargumentasi dengan dalil, baik dari Al Qur'an, as Sunnah, atau apa yang ditunjukkan oleh keduanya berupa Ijma' Sahabat dan Qiyas. [].
0 Komentar