KEMATIAN RANDIKA DAN POTRET GELAP NEGARA YANG ABAI TERHADAP WARGANYA


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Kabar meninggalnya Randika Alzatria Syaputra (28), seorang pemuda asal Sumatera Selatan yang ditemukan tak bernyawa di dekat Masjid Baitul Zuhdi, Cilacap, bukan sekadar kisah duka pribadi. Ia adalah cermin buram dari kondisi sosial dan struktural bangsa yang gagal memastikan satu hal paling mendasar: hak hidup dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Menurut laporan Kompas (03/11/2025), Randika diduga meninggal dunia akibat sakit, meski sempat ramai disebut karena kelaparan. Ia dikenal sebagai seorang musafir (hidup berpindah-pindah tempat) dan semasa hidupnya menulis dalam buku catatan perjalanannya pesan sederhana: ingin diantar ke rumah neneknya di Palembang. Pesan itu seperti bisikan lirih dari seorang anak bangsa yang tersesat di tengah sistem yang tak lagi peduli.


Fenomena “Randika-Randika” yang Tak Terekam

Randika mungkin hanya satu nama yang muncul ke permukaan karena kepergian tragisnya ditemukan di tempat umum. Namun di luar sana, ada ribuan (bahkan mungkin jutaan) “Randika” lain yang hidup dalam sunyi, terpinggirkan, tanpa akses kesehatan, pekerjaan, dan rasa aman sosial.

Ironisnya, negeri ini disebut kaya: sumber daya alam melimpah, tambang emas menggunung, dan APBN triliunan rupiah terus mengalir. Tapi kekayaan itu belum pernah benar-benar menjadi milik rakyat. Kemiskinan dan kelaparan tetap muncul, bukan karena alam tak cukup memberi, melainkan karena tata kelola yang timpang dan sistem ekonomi yang tak berpihak.


Akar Masalah: Gagalnya Sistem Sekuler Kapitalistik

Dalam sistem sekuler, negara diposisikan sekadar pengatur teknis, bukan penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Pemerintah sibuk mengatur regulasi, sementara urusan ekonomi diserahkan kepada pasar. Logika kapitalisme memisahkan moral dari kebijakan; menilai manusia dari daya beli, bukan dari martabatnya sebagai makhluk yang wajib dilindungi.

Di bawah sistem ini, rakyat kecil hanya menjadi statistik. Kematian karena lapar, sakit, atau kelelahan yang dianggap tak lebih dari “kejadian biasa”. Sementara elite ekonomi terus menimbun kekayaan, rakyat dibiarkan berjuang sendiri dalam kompetisi yang tak adil.

Padahal, dalam pandangan Islam, negara bukan sekadar regulator, melainkan raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi seluruh warganya. Rasulullah ﷺ bersabda:

فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Negara yang membiarkan rakyatnya terlantar tanpa tempat tinggal, makanan, dan penghidupan sejatinya telah mengkhianati mandat kepemimpinan itu.


Krisis Kemanusiaan yang Sistemik

Kematian Randika tak bisa hanya dibaca sebagai tragedi personal. Ia adalah gejala sosial dari sistem yang kehilangan nurani. Ketika bantuan sosial dikorupsi, layanan publik tersentral pada birokrasi yang lamban, dan harga kebutuhan pokok terus melambung, maka yang mati bukan hanya tubuh seseorang, tapi juga rasa keadilan dalam masyarakat.

Lebih dalam, sistem pendidikan dan ekonomi yang sekuler telah membentuk manusia individualistik, yang memandang hidup semata dari ukuran materi. Solidaritas sosial memudar, dan nilai kasih sayang yang seharusnya menjadi perekat masyarakat, tergantikan oleh logika kompetisi. Akibatnya, saat satu orang jatuh miskin atau tersesat di jalan hidupnya, dunia hanya menonton.


Solusi Islam: Negara yang Menjamin, Bukan Membiarkan

Islam hadir dengan sistem yang komprehensif untuk menata urusan manusia. Dalam pandangan Islam, pemenuhan kebutuhan pokok (seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan) adalah hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara tidak boleh melempar tanggung jawab kepada pasar, investor, atau lembaga sosial sukarela.

Negara dalam sistem Islam memiliki mekanisme konkret:
  • Baitul Mal (Kas Negara Islam) sebagai pusat distribusi kekayaan dan zakat untuk fakir miskin serta musafir seperti Randika.
  • Kepemilikan umum atas sumber daya strategis, seperti tambang, energi, dan hutan, agar hasilnya langsung dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bukan perusahaan swasta.
  • Sistem ekonomi non-ribawi dan non-eksploitatif yang memastikan sirkulasi kekayaan tidak berhenti di tangan segelintir orang.

Lebih dari itu, negara Islam (Khilafah) tidak hanya menyediakan bantuan sesaat, tetapi membangun struktur kehidupan yang membuat rakyat tidak perlu meminta belas kasihan. Setiap warga negara dijamin untuk dapat hidup layak, produktif, dan bermartabat.


Penutup: Saatnya Kembali ke Sistem yang Memanusiakan

Randika telah pergi, tapi kisahnya meninggalkan pertanyaan besar: seberapa bernilai nyawa manusia di negeri ini? Selama sistem sekuler kapitalistik tetap menjadi dasar kebijakan, tragedi seperti ini hanya akan berulang dalam wajah yang berbeda.

Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan sekadar angka ekonomi, melainkan terpenuhinya kebutuhan hidup dengan penuh kehormatan dan kasih sayang. Maka, solusi sejati bukan menambal sistem lama dengan program karitatif, tetapi mengganti sistem yang rusak dengan sistem yang menegakkan keadilan dari sumber wahyu.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ
Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)

Sudah saatnya bangsa ini berhenti menormalisasi kematian karena kelaparan ataupun karena sakit yang terabaikan. Kita tak butuh belas kasihan, kita butuh sistem yang benar, sistem yang memanusiakan manusia sebagaimana mestinya.

Posting Komentar

0 Komentar