
Oleh: Ockta Rina
Penulis Lepas
Anak muda saat ini dibayangi krisis tenaga kerja global yang semakin serius, bahkan mengkhawatirkan. Mereka menghadapi kenyataan pahit, yaitu sulit mendapatkan pekerjaan yang hanya sekadar untuk bertahan hidup. Padahal, generasi muda adalah generasi penuh energi, ide cemerlang, dan harapan besar yang akan menjadi generasi pembangunan.
Seperti yang terjadi di beberapa negara besar, yaitu Inggris, Prancis, Amerika Serikat (AS), dan China, melaporkan adanya lonjakan angka pengangguran. Bahkan, muncul fenomena yang pura-pura kerja tanpa digaji, demi dianggap bekerja.
Di Indonesia, meskipun secara nasional angka pengangguran turun, generasi muda masih banyak yang menganggur. Situasi ini menunjukkan pemulihan ekonomi global yang rapuh, di tengah perlambatan pertumbuhan, tekanan inflasi, hingga ketidakpastian politik.
Kondisi ini tak hanya menekan daya beli masyarakat, tetapi juga membawa dampak sosial dan politik yang luas. Ketika kesempatan kerja semakin terbatas, ketidakstabilan di berbagai negara bisa saja terpicu.
Akar Masalah
Krisis pasar tenaga kerja global kini paling berat dirasakan oleh anak muda. Mereka menjadi korban sistem kapitalisme yang gagal menciptakan lapangan kerja yang layak dan merata. Sistem ini melahirkan ketidakadilan ekonomi, memperlebar kesenjangan sosial, dan membuat generasi muda terpinggirkan dari akses terhadap pekerjaan yang bermartabat. Dampaknya, tingkat pengangguran pemuda melonjak, disertai tekanan ekonomi, sosial, bahkan psikologis seperti stres dan depresi.
Beragam program pemerintah seperti job fair terbukti tidak mampu menjadi solusi nyata. Dunia industri justru tengah diterpa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), sementara pembukaan sekolah serta jurusan vokasi pun tak menjamin kemudahan mencari kerja. Faktanya, banyak lulusan vokasi justru ikut menganggur karena pasar kerja yang sempit dan tidak seimbang dengan jumlah pencari kerja.
Akar persoalan ini terletak pada ketimpangan distribusi kekayaan. Dalam sistem kapitalisme, kekayaan dunia terkonsentrasi pada segelintir orang. Di Indonesia, situasinya tak jauh berbeda. Menurut data Celios, kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta warga Indonesia. Sebuah ironi yang menunjukkan betapa timpangnya sistem ekonomi yang berjalan saat ini. (Celios)
Maka selama sistem kapitalisme masih mendominasi dunia, termasuk Indonesia, pengangguran senantiasa menjadi masalah utama. Krisis tenaga kerja global telah nenunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan.
Inilah ciri khas dari kapitalisme: kebebasan hak milik lahir dari kapitalisme. Dan hal ini sangat mempengaruhi elite penguasa. Dalam buku Nidzam fil Islam oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dikatakan bahwa para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut ideologi ini.
Perspektif Islam
Dalam Islam, seorang penguasa berperan sebagai ra'īn, karena penguasa merupakan fasilitator negara, yaitu mengurusi rakyatnya agar mendapatkan pekerjaan. Dengan kata lain, negara bertanggung jawab penuh untuk membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, guna memfasilitasi rakyatnya agar memiliki pekerjaan, yaitu dengan pendidikan, bantuan modal, industrialisasi, pemberian tanah, dan lain-lain.
Penerapan sistem ekonomi Islam menjamin distribusi kekayaan yang adil, bukan terkonsentrasi pada segelintir orang seperti dalam sistem kapitalisme. Islam mengatur kepemilikan secara tegas dalam tiga kategori: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kekayaan individu terbatas pada hasil usaha pribadi seperti jual beli, hibah, atau warisan. Namun, Islam melarang seseorang menguasai kepemilikan umum (seperti sumber daya alam, energi, dan aset publik) karena hasilnya harus dikelola oleh negara dan dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh umat. Dengan cara inilah sistem Islam memastikan tidak ada penumpukan kekayaan di tangan segelintir pihak, melainkan terdistribusi secara merata demi kesejahteraan masyarakat.
Bukan hanya itu saja, Islam juga mengatur urusan rakyatnya melalui sistem pendidikan. Di mana negara menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, tidak hanya siap kerja, tetapi juga memiliki keahlian di bidangnya. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis riwayat Al-Bukhari, No. 59:
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
"Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya (kiamat)."
Wallahua'lam Bisshowab.

0 Komentar