KEKERASAN MENGAKAR DARI RUMAH TANGGA HINGGA DUNIA REMAJA


Oleh: Desti Sundari
Muslimah Ibu Generasi

Gempar! Kasus pembunuhan kembali terjadi dan mengguncang nurani publik di tengah masyarakat. Di Kabupaten Malang, Ponimah (42) ditemukan tewas dengan kondisi tubuh hangus terbakar, dan pelakunya tak lain adalah suami sirinya sendiri, FA (54). KBO Satreskrim Polres Malang, Ipda Dicka Ermantara, mengatakan motif pembunuhan diduga kuat dipicu konflik rumah tangga yang terjadi terus-menerus. Terkait motif mengapa pelaku tega melakukan perbuatan itu, karena murni masalah rumah tangga. (Berisatu, 16/10/2025)

Sementara di Jakarta Utara, tragedi lain terjadi ketika seorang remaja berusia 16 tahun tega memperkosa dan menghabisi nyawa bocah perempuan berusia 11 tahun di Rorotan, Cilincing. Dari hasil pemeriksaan awal, pelaku mengaku tega melakukan perbuatan keji itu karena sakit hati ditagih utang oleh ibu korban. (Berisatu,15/10/2025)

Dua peristiwa kelam ini bukan pertama kalinya terjadi atau sekadar catatan kriminal, tetapi juga menunjukkan potret buram tentang krisis moral dan lemahnya kontrol sosial di sekitar kita. Lebih miris lagi, kekerasan dilakukan oleh orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat kita untuk berlindung dan merasa aman, bukan sebaliknya.

Berulangnya kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan keluarga Muslim saat ini. Dampaknya tidak hanya pada ibu, tetapi juga pada anak dan remaja. Tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan dan minim kasih sayang membuat mereka meniru pola kekerasan, sehingga banyak remaja melampiaskan luka batin melalui tindakan agresif yang memicu meningkatnya kasus kekerasan remaja.

Kasus ini menjadi peringatan keras, bahwa saat ini negeri kita darurat kekerasan dalam rumah tangga dan remaja. Bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga melanggar hak asasi manusia untuk mendapatkan hak hidup dengan rasa aman dan mendapatkan keadilan. Maka dari itu, pemerintah memandang penegakan hukum menjadi langkah penting untuk memberi efek jera.

Melalui penguatan hukum, layanan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dan edukasi publik, diharapkan dapat mengatasi darurat kekerasan dalam rumah tangga. Namun, sayangnya upaya ini pun tidak memberikan solusi dan efek jera. Faktanya, kasus kekerasan pada perempuan dan anak semakin merebak. Berdasarkan laporan KemenPPPA, pada tahun 2016 terdapat 7.474 kasus, tahun 2023 naik menjadi 18.466 kasus, dan melonjak drastis pada tahun 2024 dengan total kasus KDRT mencapai 28.789.

Mengapa upaya tersebut tidak memberikan solusi? Sebab dalam praktiknya, aparat penegak hukum tidak cepat tanggap atas masuknya berbagai laporan kekerasan dari pihak korban, karena menganggap ini hanya masalah keluarga yang bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah. Akibatnya, masalah ini tidak terselesaikan, dan pelaku tidak jera atas perbuatannya karena terbebas dari hukuman. Akhirnya banyak korban yang tidak mau melaporkan tindak kekerasan ini melalui jalur hukum, sebaliknya, kasus kekerasan ini banyak diunggah di media sosial hingga viral, dan hasilnya aparat penegak hukum baru bergerak.

Fakta ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah jauh panggang dari api, artinya tidak menyentuh akar permasalahan. Kita tidak bisa menutup mata dan telinga bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga dan remaja penyebabnya adalah dijauhkannya agama dalam mengatur kehidupan. Sehingga umat Muslim saat ini hidup bebas tanpa aturan, sehingga keluarga kehilangan landasan takwa dan tanggung jawab moral.

Pendidikan dalam sistem sekuler-liberal juga menumbuhkan kebebasan tanpa batas, merusak keimanan, menumbuhkan sikap individualistis yang merusak keharmonisan keluarga serta perilaku remaja.

Sementara materialisme menjadikan kebahagiaan bersifat duniawi, yang melemahkan mental individu masyarakat. Membuat mereka lebih mengedepankan hawa nafsu dan emosional dalam menghadapi masalah. Belum lagi ditambah dengan beban kesulitan ekonomi yang memicu timbulnya keretakan dan kekerasan dalam rumah tangga bahkan pembunuhan.

Fenomena ini menunjukkan negara abai dalam mengurus urusan rakyatnya, ini terbukti dengan hanya menindak melalui UU PKDRT yang tidak menyentuh akar masalah, tanpa mengubah sistem yang rusak penyebab masalah.

Keadaan ini sangat jauh dari gambaran keluarga yang diinginkan setiap Muslim, yakni sakinah mawadah warahmah. Namun, kita juga sulit mewujudkannya apabila hidup masih menjauhkan aturan agama dari kehidupan (sekulerisme), yang menyebabkan umat Muslim jauh dari ketaatan kepada Allah ﷻ. Lalu, bagaimana cara mewujudkan keluarga yang sakinah, yang penuh kasih sayang tanpa adanya kekerasan?

Solusinya adalah kembali menerapkan aturan agama (Islam) dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab Islam telah menetapkan aturan jelas tentang pernikahan, yakni sebuah ikatan suci, bukan sebatas hubungan seksual semata untuk melestarikan keturunan.

Islam memandang hubungan suami dan istri seperti sahabat sejati yang saling berupaya memberikan rasa aman, nyaman, dan tenteram dalam rumah tangga. Maka Islam mengatur hak antara suami dan istri sebagaimana Allah ﷻ berfirman:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut (makruf)." (QS. An-Nisa’ [4]: 19)

Ayat tersebut mengajarkan kita untuk berperilaku baik terhadap keluarga agar tercipta sakinah (ketenangan) di dalamnya. Serta menegaskan bahwa membangun keluarga tidak cukup dengan niat baik atau pendekatan emosional semata, melainkan harus berlandaskan ilmu Islam dan ketaatan pada aturan Allah. Agar keluarga memiliki fondasi yang kokoh dan mencegah KDRT sejak awal.

Maka tugas negara dalam Islam itu sebagai pelindung (raa’in) yang akan menjamin kesejahteraan individu rakyatnya dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Negara juga akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap kepala keluarga agar mampu menafkahi keluarganya, sehingga tidak tertekan dengan kondisi ekonomi.

Selain itu, pendidikan dalam Islam pun diatur dengan penerapan kurikulum berdasarkan akidah Islam, yang akan membentuk kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia. Membentuk karakter berpikir bukan sekadar urusan duniawi tetapi juga akhirat, baik lingkungan keluarga, masyarakat hingga negara.

Hukum sanksi yang ditegakkan dalam Islam adalah hukuman yang tegas dan menjerakan bagi siapa pun yang melanggar syariat. Juga sebagai sarana mendidik masyarakat agar hidup selalu terikat dengan hukum syariat Islam.

Maka dari itu, mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah hanya dapat tercapai bila seluruh tatanan kehidupan kembali diatur oleh hukum syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan yang mampu mewujudkan keadilan, keamanan, dan ketenteraman.

Wallahu'alam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar