
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Ada legacy kepemimpinan yang dipertahankan oleh Menag baru yang merupakan warisan Menag sebelumnya, yakni tradisi kegaduhan dan jualan narasi radikal radikul. Setelah sebelumnya Menag membuat gaduh dengan narasi akan mengafirmasi kelompok Syiah dan Ahmadiyah, kini Menag bikin gaduh lagi dengan isu menghalau populisme Islam.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan tekadnya menghentikan populisme Islam berkembang luas dan justru menggiring nilai agama menjadi norma konflik. Pernyataan tersebut diungkapkan Yaqut dalam webinar silaturahmi nasional lintas agama atau dua hari pasca perayaan Natal pada Jumat (25/12).
"Saya tidak ingin, kita semua tentu saja tidak ingin populisme Islam ini berkembang luas sehingga kita kewalahan menghadapinya," kata dia dalam acara yang disiarkan langsung lewat akun YouTube Humas Polda Metro Jaya, Minggu (27/12).
Entah apa yang dimaksud dengan 'populisme Islam' yang dibicarakan Yaqut. Tak ada data kongkrit dan parameter objektif yang dapat dijadikan ukuran, untuk membenarkan ucapan sang Menag.
Lagi-lagi, populisme Islam dijajakan dengan narasi intoleransi dan merasa paling benar sehingga hal ini menjadi sumber konflik. Padahal, tak ada satupun konflik diantara elemen anak bangsa yang disebabkan oleh agama Islam.
Konflik pembelahan Cebong - Kampret, yang juga menelan lebih dari 800 nyawa anggota KPPS bukan disebabkan Islam, tapi disebabkan Pilpres 2019, disebabkan pembelahan antara kubu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi. Kematian 6 anggota FPI akibat tembakan secara brutal, juga bukan akibat populisme Islam, melainkan akibat adanya abuse of power yang berujung pada tindakan extra judicial killing.
Kekacauan distribusi Bansos hinga terjadi konflik antara RT RW dengan warga penerima Bansos juga bukan karena populisme Islam. Itu karena ketidakadilan, ketidakpastian, dan tidak transparannya pengelolaan anggaran Bansos. Bahkan, karena korupsi Menteri Sosial yang bukti OTT-nya hingga 17 Miliar.
Konflik di kepulauan Natuna bukan pula karena populisme Islam, tapi karena keserakahan China dan bungkamnya penguasa NKRI. Kedaulatan dilanggar, masih saja membiarkan TKA China masuk ke Indonesia.
Ancaman Disintegrasi Papua, juga bukan karena populisme Islam. Tapi karena kerakusan Amerika, yang mengeruk kekayaan alam Papua tanpa menyisakan bagian untuk rakyat Papua. Pada saat yang sama, Amerika mengompori OPM agar marah pada pemerintahan di Jakarta. Dan ada oknum pejabat, yang mengambil untung dari konflik ini.
Entahlah, kenapa Islam selalu dituding bersalah oleh Yaqut? Padahal, agamanya Islam.
Saat gerakan OPM maupun yang diinisiasi Benny Wenda didukung kelompok gereja, apakah Yaqut berani menuding akar separatisme adalah agama Gereja? Apakah Yaqut akan mengedarkan narasi melawan Kristiani populis?
Kalaupun hari ini Islam semakin populer, ajarannya semakin diminati, sistem Khilafah sebagai ajaran Islam terkait politik makin digemari, itu semua adalah akibat kegagalan demokrasi merealisasikan misi menyejahterakan rakyat, dan semakin tingginya kesadaran umat Islam untuk kembali pada syariah Islam secara kaffah. Sistem Khilafah akan alamiah diterima umat karena hanya sistem Khilafah yang mampu merealisasikan misi menghamba kepada Allah SWT dengan menerapkan hukum-Nya dalam segala dimensi kehidupan.
Jadi terus terang Pak Menag, arus Khilafah akan terus membesar, ajaran Islam Khilafah akan semakin populer. Dan saya tegaskan kepada Anda, anda tak akan pernah bisa 'menggebuk' ajaran Islam Khilafah, baik ketika anda menjadi pimpinan Ormas ataupun setelah Anda menjadi Menteri. Sebab, Khilafah adalah ajaran yang diturunkan Allah SWT, Allah SWT pula yang akan menjaga dan melindungi Khilafah dan para pengembannya. [].
0 Komentar