
Oleh: Winda Raya, S.Pd., Gr.
Aktivis Muslimah
Pergi ke pesantren di pagi buta,
Menyimak ilmu dengan hati terbuka.
Bangkitkan Islam tugas kita,
Agar peradaban kembali megah di dunia.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyerukan kepada seluruh elemen pondok pesantren di Indonesia agar menjadikan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) tingkat nasional dan internasional sebagai langkah awal menuju kebangkitan kembali Zaman Keemasan Peradaban Islam (The Golden Age of Islamic Civilization). Ia menegaskan bahwa kebangkitan peradaban Islam harus berawal dari pesantren sebagai pusat pendidikan dan pembinaan generasi berilmu.
Menag menjelaskan bahwa keemasan peradaban Islam dahulu lahir karena adanya kesatuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Oleh karena itu, pesantren kini perlu menguasai tidak hanya kitab kuning, tetapi juga kitab putih yang memuat ilmu sosial, politik, dan sains. Ia menilai bahwa kemunduran Islam terjadi akibat pemisahan dua jenis ilmu tersebut. “Perpaduan antara Iqra’ dan Bismirabbik akan melahirkan insan kamil,” ujarnya.
Menag menegaskan bahwa pesantren merupakan benteng kuat bangsa yang sejak awal menebarkan Islam melalui dakwah damai para Wali Songo. Selama pesantren menjaga jati dirinya (kiai, santri, masjid, kitab turats, dan tradisi keilmuan) kebangkitan Islam diyakini dapat berawal dari Indonesia. Acara MQK 2025 di Pesantren As’adiyah, Wajo, berlangsung pada 1–7 Oktober, dengan berbagai kegiatan seperti musabaqah, halaqah ulama internasional, expo kemandirian pesantren, dan As’adiyah Bershalawat (Kemenag, 02/10/2025).
Penetapan tema besar Hari Santri 2025, yakni “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia,” pada pandangan awal tampak membawa semangat positif dan penuh harapan. Tema ini seolah ingin menegaskan peran strategis santri dalam mengawal kemerdekaan bangsa sekaligus menempatkan Indonesia pada posisi terhormat di tingkat global. Namun, di tengah arus kehidupan modern yang sarat dengan nilai-nilai sekularisme dan liberalisme, arah serta makna tema tersebut patut dikaji secara kritis melalui kacamata syariat Islam. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa narasi besar seperti ini sering kali menjadi ruang kompromi antara idealisme keislaman dan agenda ideologis yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Fenomena yang muncul dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya upaya terselubung untuk menanamkan sekularisme di lingkungan pesantren. Pesantren yang semestinya menjadi pusat penggemblengan ulama dan pembentukan pemimpin peradaban Islam perlahan digeser orientasinya. Dalam berbagai program dan kebijakan, pesantren kini kerap diarahkan menjadi pusat kegiatan ekonomi, kebudayaan, atau sosial, dengan santri dipromosikan sebagai “duta budaya” dan “motor kemandirian ekonomi.”
Meskipun tampak positif, arah ini sebenarnya berpotensi mengaburkan peran fundamental pesantren sebagai lembaga pencetak kader warasatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang membawa risalah Islam dan memperjuangkan tegaknya syariat. Pergeseran fokus ini bukan sekadar persoalan semantik, tetapi menyentuh akar orientasi pendidikan pesantren yang seharusnya berlandaskan pada tafaqquh fid din (pendalaman ilmu agama) dan pembentukan karakter pejuang Islam.
Lebih jauh, muncul pula kecenderungan membelokkan arah perjuangan santri menjadi sekadar agen perubahan sosial yang bersifat universal dan netral secara ideologis. Santri dipromosikan sebagai simbol perdamaian dan moderasi dalam pengertian sekuler, bukan sebagai pembawa rahmat berdasarkan tuntunan syariat. Konsep Islam wasathiyah atau moderasi beragama yang digencarkan sering kali dimaknai dengan melunakkan prinsip Islam agar selaras dengan ideologi liberal, bukan menampilkan keseimbangan sejati sebagaimana diajarkan Al-Qur’an dan sunah. Akibatnya, peran santri sebagai penjaga kemurnian akidah dan pejuang penegakan hukum Islam dapat tereduksi menjadi sekadar simbol toleransi tanpa arah perjuangan ideologis yang jelas.
Dalam konteks ini, penting bagi umat Islam (khususnya kalangan pesantren) untuk kembali meneguhkan jati diri dan peran aslinya. Pesantren tidak boleh kehilangan ruh perjuangan sebagai pusat peradaban Islam yang berorientasi pada ilmu, iman, dan amal saleh. Santri harus disiapkan menjadi ulama dan pemimpin umat yang berwawasan luas, bukan sekadar agen budaya atau ekonomi. Hanya dengan menjaga kemurnian tujuan pendidikan Islam dan menolak infiltrasi sekularisme-liberalisme, pesantren akan mampu menjadi pilar kebangkitan Islam sejati serta melanjutkan estafet peradaban Islam yang pernah berjaya di masa lalu.
Mewujudkan kembali peradaban Islam merupakan tanggung jawab setiap mukmin, bukan sekadar wacana atau seruan simbolik tanpa arah. Umat Islam perlu memahami secara mendalam bagaimana Islam membangun peradaban, mulai dari asas yang menjadi fondasinya, ukuran amal yang menjadi pedomannya, hingga makna kebahagiaan sejati yang dicita-citakan dalam pandangan Islam.
Pesantren memang memiliki peran penting dalam mencetak generasi berilmu dan berakhlak. Namun, upaya mewujudkan kembali peradaban Islam tidak bisa berhenti di sana. Diperlukan perjuangan dakwah politik Islam yang terarah, yang mampu menata kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai syariat secara menyeluruh. Sebab, hanya melalui penerapan sistem Islam yang sempurna dalam seluruh aspek kehidupan (yakni sistem khilafah) peradaban Islam sejati dapat terwujud: peradaban yang berlandaskan keadilan, ilmu, dan ketundukan total kepada Allah ﷻ.
Wallahu a‘lam bis shawab.
0 Komentar