POTENSI GEN Z DALAM SISTEM KAPITALISME


Oleh: Putri Melati
Aktivis Remaja Muslimah

Bayangkan, kamu baru saja lulus kuliah. Selama bertahun-tahun, kamu sudah menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Kamu punya harapan besar: mendapatkan pekerjaan yang layak, bisa membantu orang tua, dan mulai membangun masa depan. Tapi, realitanya… kamu malah terjebak dalam lingkaran tak berujung: “Lamar kerja, ditolak. Magang, tapi tidak digaji. Diterima kerja, tapi gajinya tidak cukup untuk hidup.” Terdengar familiar?

Fenomena ini bukan hanya kamu yang alami. Gen Z di seluruh dunia sedang menghadapi krisis yang sama. Di banyak negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, hingga Cina, angka pengangguran melonjak tinggi. Bahkan, muncul fenomena absurd bernama “kerja pura-pura” atau fake work (orang bekerja tanpa digaji atau hanya diberi sedikit uang, semata-mata supaya terlihat punya pekerjaan). (CNBC Indonesia, 20/09/2025)

Mirisnya, angka statistik menunjukkan bahwa pengangguran menurun, namun fakta di lapangan menunjukkan banyaknya pengangguran yang sering kita jumpai. Hampir separuh dari pengangguran di Indonesia adalah anak muda yang justru berada di usia produktif dan memiliki banyak potensi.

Lebih parah lagi, ketimpangan kekayaan di Indonesia semakin mencolok. Menurut laporan Celios 2024, 50 orang terkaya di negeri ini memiliki kekayaan setara dengan 50 juta orang Indonesia lainnya.

Bayangkan… 50 vs 50 juta!

Seolah dunia ini didesain hanya untuk segelintir orang kaya, sementara mayoritas rakyat harus berebut sisa remah-remah.

Jadi, masalah ini bukan sekadar kamu “kurang skill” atau “kurang usaha”. Ada sesuatu yang salah secara sistemik. Krisis tenaga kerja ini sebenarnya membuka fakta besar yang sering kita tidak sadari: kapitalisme itu tidak pernah benar-benar peduli dengan kesejahteraan kita.

Bagi Gen Z, hal ini sangat terasa:
  • Cari kerja susah, padahal sudah punya gelar dan skill.
  • Kalau dapat kerja, gajinya sering tidak cukup untuk biaya hidup, apalagi nabung atau bahagiain orang tua.
  • Bahkan muncul fenomena “kerja demi status”, rela kerja tanpa dibayar hanya supaya tidak dianggap pengangguran.

Sementara itu, jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin makin melebar. Sedangkan pemerintah hanya memberi solusi tambal sulam. Misalnya, mengadakan job fair. Tapi, bagaimana mau dapat pekerjaan kalau industri malah ramai dengan PHK? Sekolah dan kampus vokasi juga katanya dibuat supaya lulusannya siap kerja. Faktanya? Banyak yang justru jadi pengangguran baru.


Kenapa semua ini bisa terjadi?

Jawabannya ada di akar masalah, yaitu “kapitalisme”.
Di sistem ini, semua keputusan diukur dari untung dan rugi.
Kalau perusahaan merasa rugi, mereka akan melakukan PHK massal tanpa memikirkan nasib karyawan.
Negara? Alih-alih menjadi pelindung rakyat, malah sering hanya jadi “fasilitator” bagi para pemilik modal besar.
Pada akhirnya, kita cuma dianggap “mesin produksi” yang bisa diganti kapan saja.

Mungkin sekarang kamu mikir, “Terus kita harus gimana dong? Masa cuma pasrah?
Don't worry guys, there is a solution that has been tested and proven, not just theory or empty promises — it's called the Islamic System.

Berbeda dengan kapitalisme yang memandang manusia hanya dari sisi manfaat dan untung rugi, Islam melihat manusia sebagai hamba Allah sekaligus pengelola bumi (khalifah). Dalam sistem ini, negara benar-benar hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan memenuhi kebutuhan sendiri atau kepentingan segelintir orang.

Dapat kita lihat, peran negara dalam sistem Islam adalah:

Pertama, Negara sebagai pelayan rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dalam HR. Bukhari dan Muslim:

اَلْإِمَامُ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (pemimpin) itu adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, negara punya kewajiban memastikan rakyatnya bisa hidup layak, termasuk soal pekerjaan.

Beberapa langkah konkret yang dilakukan negara dalam sistem Islam, antara lain:
  • Menyediakan pendidikan gratis yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
  • Memberikan bantuan modal usaha bagi yang ingin berwirausaha.
  • Mengelola tanah dan sumber daya alam supaya rakyat bisa menggunakannya, bukan dikuasai oleh swasta.
  • Membangun industri yang fokus pada kepentingan rakyat, bukan sekadar keuntungan perusahaan.

Kedua, kekayaan negara akan digunakan untuk kepentingan rakyat dan terdistribusi secara adil.

Dalam Al-Qur'an, Allah sudah mengingatkan:

كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Berbeda dengan kapitalisme yang memungkinkan kekayaan dimiliki oleh individu, sistem Islam memiliki mekanisme yang adil:
  • Ada zakat yang dikeluarkan dan diberikan pada 8 asnaf, sebagaimana dalam surah At-Taubah.
  • Mengharamkan riba, sehingga tidak ada yang “kaya mendadak” lewat eksploitasi orang lain.
  • Kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, dikelola negara untuk kepentingan rakyat tanpa ada intervensi asing.

Ketiga, pendidikan karena dorongan iman, bukan sekadar bekal agar “siap kerja”.

Pendidikan dalam sistem Islam tidak mencetak “robot pekerja” yang siap diperas oleh perusahaan.

Tapi benar-benar mempersiapkan generasi muda menjadi manusia produktif, bertakwa, dan paham bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah. Hasilnya? Anak muda bukan cuma punya skill, tapi juga punya visi hidup yang jelas dan kuat.

Come on, guys! Saatnya kita berpikir kritis.

Krisis tenaga kerja yang kita alami hari ini bukan sekadar masalah kurangnya lapangan kerja. Ini adalah masalah sistemik. Selama kita masih menggantungkan harapan pada sistem kapitalisme, kita akan terus terjebak di lingkaran setan: pengangguran, PHK, dan kerja tanpa harapan.

Islam hadir dengan solusi nyata yang berkeadilan dan manusiawi. Sistem ini memastikan negara benar-benar jadi pelindung rakyat, bukan pelayan para pemilik modal.

Wallahu ‘allam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar