
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Wali Kota Probolinggo, dr. Aminuddin, geleng-geleng kepala melihat fenomena perceraian di lingkungan Pemkot yang ia pimpin. Baru tujuh bulan menjabat, ia sudah menerima lebih dari 100 berkas permohonan cerai dari pegawai, di mana mayoritas pengajuan perceraian datang dari pegawai perempuan, karena perselingkuhan dengan rekan kerja (Detik, 03/10/2025).
Aminuddin tidak menampik bahwa interaksi sehari-hari di kantor yang berawal dari curhat sering memunculkan rasa simpati, yang akhirnya berujung pada perselingkuhan. Menurutnya, Pemkot tidak serta-merta menyetujui pengajuan perceraian, melainkan akan memfasilitasi mediasi antara pasangan suami-istri yang bermasalah melalui Dinas Sosial maupun KUA. Ia berharap perceraian yang sebenarnya masih bisa diselamatkan dapat dicegah.
Tingginya angka perceraian ternyata juga terjadi di Ponorogo. Data Pengadilan Agama (PA) mencatat, sepanjang Januari–Agustus 2025, ada 1.311 perkara perceraian yang masuk. Dari jumlah itu, 1.087 perkara sudah diputus oleh majelis hakim. Permintaan cerai mayoritas diajukan oleh pihak istri. Dari total perkara yang diputus, sekitar 60 persen merupakan cerai gugat atau 844 kasus, dan 243 kasus cerai talak, yaitu cerai dari pihak suami (Detik, 29/09/2025).
Humas sekaligus Hakim PA Kelas IA Ponorogo, Maftuh Basuni, mengatakan bahwa akar masalah utamanya banyak dipicu oleh faktor ekonomi, bisa berupa suami yang tidak bekerja, berpenghasilan rendah, hingga tidak mampu menanggung kebutuhan rumah tangga.
Maftuh mengungkapkan munculnya tren yang disebut "lebih baik menjanda", yaitu mereka yang resmi menjanda setelah mendapatkan akta perceraian, lalu mengambil foto di depan kantor PA sambil menunjukkan aktanya.
Sebelumnya, di Kabupaten Blitar, fenomena ini viral lebih dulu dengan 20 guru PPPK mengajukan izin cerai hanya dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Jumlah ini mengalami lonjakan dibandingkan tahun sebelumnya, dan mayoritas pengaju cerai adalah perempuan (Detik, 21/07/2025).
Kapitalisme Suburkan Feminisme
Di tengah melemahnya perekonomian, fenomena perceraian yang diajukan oleh pihak perempuan cukup mengejutkan. Seolah memberi tanda bahwa perempuan bukan lagi wanita lemah yang hanya berharap penghidupan dari suaminya. Begitu ada sedikit "perbaikan" ekonomi, dengan berstatus ASN atau sukses UMKM, maka mereka berani mentalak cerai suaminya.
Di sisi lain, para suami yang menjadi korban keadaan ekonomi, kehilangan pekerjaan, dan kemudian menjadi pengangguran, justru harus menghadapi gugatan cerai dari istrinya. Apakah ini suatu hal yang baik atau buruk?
Fenomena istri yang menggugat cerai mungkin disebabkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang semakin memperkuat ide feminisme. Dalam kapitalisme, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, keduanya dianggap sebagai faktor ekonomi. Jika pria mungkin masih bisa ditolerir karena memiliki kewajiban untuk memberi nafkah, namun perempuan seharusnya mendapatkan pengecualian.
Dalam pandangan Islam, perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah atau menjadi tulang punggung keluarga. Namun, kapitalisme memaksa perempuan untuk berkarir dan mengukur nilai mereka hanya berdasarkan seberapa banyak penghasilan yang dapat diperoleh. Sebaliknya, dalam Islam, perempuan dihargai dan dihormati bukan berdasarkan penghasilan atau pekerjaan yang mereka lakukan, tetapi berdasarkan peran dan tugas mulia mereka sebagai istri, ibu, dan pendidik bagi generasi mendatang.
Dalam kapitalisme, semakin produktif seseorang, semakin tinggi insentif yang didapatkan dan semakin besar pula penghasilannya. Perempuan dianggap lebih mulia dan memiliki derajat yang lebih tinggi jika mapan secara ekonomi. Sementara itu, seorang ibu rumah tangga biasa sering dianggap tidak produktif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika feminisme (kesetaraan gender) menjadi salah satu faktor yang menyumbang masalah dalam rumah tangga dan penyebab perceraian.
Fakta ini memang sangat pahit. Banyak perempuan, tanpa disadari, menerima ide feminisme sebagai jalan untuk hidup mandiri dan lepas dari beban (suami). Mereka merasa bahwa dengan mengikuti ide ini, mereka bisa menghindari ketergantungan ekonomi. Namun, hal ini juga menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, yang seharusnya dapat hidup sejahtera tanpa perlu merasa tertekan atau mencari jalan keluar dengan cara-cara yang justru memecah belah keluarga.
Seharusnya tak ada fenomena "Lebih Baik Menjanda", yang mengindikasikan perempuan "bisa" hidup sendiri tanpa laki-laki. Padahal, sebuah rumah tangga semestinya bukan sekadar berisi pria-wanita atau suami-istri saja, tapi juga ayah-ibu, sahabat-guru, dan hamba Allah.
Lewat keluargalah lahir generasi penerus yang kuat, berkepribadian Islam, mandiri, tangguh, pejuang Islam, sekaligus menjadi aset negara yang mengemban peradaban Islam yang cemerlang. Kapitalisme telah menghancurkan fungsi itu dan menjadikan pernikahan seolah tawar-menawar keuntungan. Jika dirasa tidak menguntungkan, maka lebih baik bercerai.
Islam Solusi Keluarga Sejahtera
Dalam pandangan Islam, negara berkewajiban membangun ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat, terutama pada tingkat keluarga. Negara tidak seharusnya membiarkan rakyat berjuang sendiri untuk menafkahi keluarganya, sementara pada saat yang sama justru memberi subsidi kepada para konglomerat dengan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam yang sebenarnya merupakan hak rakyat.
Negara wajib menjaga ketahanan keluarga dengan cara menjamin kesejahteraan masyarakat dan memberikan pekerjaan yang layak bagi para suami. Sementara itu, para istri dipahamkan dengan pemikiran Islam agar menjadi istri yang kan’ah, yaitu ridha menerima, merasa cukup atas hasil yang diusahakan, serta menjauhkan diri dari rasa tidak puas dan perasaan kurang.
Negara wajib memberikan pemahaman bahwa menjadi istri dan ibu bagi generasi merupakan amalan saleh yang mendatangkan pahala serta surga. Meskipun dalam rumah tangga istri lebih mapan secara ekonomi, ia tetap wajib taat dan berkhidmat (melayani) pada suami.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَخْبِرُوا النِّسَاءَ الَّتِي تَلْقَوْنَ أَنْ طَاعَتَهُنَّ لِأَزْوَاجِهِنَّ وَإِعْرَافَهُنَّ لِحُقُوقِهِمْ كَجِهَادٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَقَلَّ مَنْ يَصْبِرُ عَلَىٰهُ
“Sampaikanlah kepada perempuan yang engkau jumpai bahwa pahala menaati suami dan mengakui (memenuhi) hak-haknya adalah sama dengan pahala jihad fi sabilillah. Akan tetapi, sedikit di antara kalian yang tabah melaksanakannya.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar).
Hanya Islam yang mampu menyelesaikan perkara rumah tangga secara tuntas. Maka mengapa kita masih belum berjuang untuk mewujudkannya?
Wallahu a'lam bissawab.
0 Komentar