
Oleh: Ayatsy Syifaa
Bagian dari Komunitas Remaja Muslimah
Nomophobia sering kita temukan pada remaja hingga anak-anak. Nomophobia artinya ketakutan berlebihan saat tidak memiliki ponsel atau ketergantungan pada teknologi digital. Penelitian juga menunjukkan bahwa kebanyakan mahasiswa, terutama yang usianya 18-24 tahun, menjadi kelompok paling rentan. Studi terbaru pada Maret 2025 di Yordania menunjukkan bahwa nomophobia pada remaja berkorelasi kuat dengan masalah psikologis seperti stres, kesepian, dan depresi.
Studi khusus pada mahasiswa kedokteran menunjukkan prevalensi nomophobia yang cukup tinggi, dengan lebih dari 505 mahasiswa mengalami nomophobia moderat dan 5-20% mengalami nomophobia parah (Unair, 04/08/25).
Di era digital saat ini, nomophobia tidak hanya menjadi masalah psikologis saja, tetapi juga memiliki dampak sosial, emosional, dan fisik yang signifikan. Alhasil, nomophobia atau ketergantungan pada teknologi digital sekarang makin berkembang, sampai-sampai anak-anak usia sekolah dasar sudah terkena nomophobia.
Biasanya, tanda seseorang terkena nomophobia adalah selalu menggenggam telepon seluler (ponsel) ke mana pun ia pergi, entah itu saat bangun tidur, makan, bermain, mengisi daya, ke toilet, bahkan sebelum tidur pun wajib memegang ponsel. Bisa dikatakan tidak pernah lepas dari ponsel.
Dari zaman ke zaman, teknologi semakin canggih, aplikasi pun bertambah canggih. Hal itu membuat manusia, khususnya pelajar dan mahasiswa, mengandalkan aplikasi AI (Artificial Intelligence). Alhasil, AI semakin pintar dan manusia semakin bodoh. Hal seperti ini akan menjadikan anak malas belajar, kecanduan gadget, gampang tantrum, dan lain-lain.
Bila dicari tahu, hal ini disebabkan kurangnya kontrol dari orang tua. Faktanya, orang tua sekarang, terutama mama muda atau papa muda, sedikit-sedikit memberikan ponsel kepada anak yang menangis. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Karena mereka berpikir bahwa satu-satunya cara agar anak mau menurut dan diam adalah dengan bermain ponsel.
Selain orang tua, faktor lain adalah lingkungan, baik di rumah, sekolah, maupun di tempat-tempat umum. Sekarang, tengok kanan tengok kiri, pasti banyak orang yang kita temui membawa ponsel. Hal ini menjadikan kita gengsi kalau tidak membawa ponsel juga.
Biasanya, di sekolah, teman-teman yang memiliki ponsel pribadi, alhasil anak juga ingin atau tak mau ketinggalan memiliki ponsel pribadi. Penyebab yang paling berpengaruh adalah sistemnya. Sekarang kita dinaungi sistem kapitalis yang berbasis pemisahan agama dari kehidupan, sehingga peraturannya dibuat oleh manusia yang pastinya tidak sempurna. Inilah dampak negatif dari adanya teknologi digital yang menyebabkan penyakit nomophobia.
Solusinya, untuk saat ini, generasi harus mengurangi waktu bermain ponsel. Kalau bisa, gunakan ponsel seperlunya saja. Mencari aktivitas lain yang lebih bermanfaat. Selain itu, perbanyak literasi dengan membaca buku serta ikut kajian atau komunitas Islam kaffah.
Jika dalam paradigma sistem Islam, jelas jauh berbeda. Negara Islam memiliki proteksi luar biasa yang dinaungi oleh departemen informasi. Di sana, semua konten tontonan akan diseleksi secara ketat. Konten yang akan ditampilkan harus sesuai dengan hukum syara’ serta memberikan edukasi. Situs-situs tidak bermanfaat seperti judi online, pinjol, gambar menampilkan aurat akan otomatis diblokir agar tidak menambah kerusakan dalam kehidupan.
Negara khilafah juga memberikan sanksi tegas bagi pelanggar yang sengaja membuat konten-konten terlarang yang bertentangan dengan syariat. Di satu sisi, negara juga hadir dalam membina generasi melalui sistem pendidikan Islam dan berbagai kajian pembinaan Islam untuk membentuk generasi berkepribadian Islam, yakni sholeh, beriman, bertakwa, berpengetahuan, serta berperan sebagai pemimpin peradaban.
Demikianlah solusi hakiki yang digambarkan dalam sistem khilafah. Semoga kita menjadi pejuang dalam barisan tegaknya sistem yang sahih ini. Aamiin.
Wallahu A’lam bishowab
0 Komentar