
Oleh: Muhar
Jurnalis Lepas
Fenomena konten quotes di TikTok kini menjadi perhatian kalangan psikolog dan akademisi karena dinilai menyimpan potensi bahaya psikologis. Mencermati hal itu, Pengamat Sosial, Direktur Siyasah Institute, Iwan Januar menegaskan, pendidik harus mampu menyampaikan pesan agama secara transformatif agar dipahami sebagai solusi yang sesuai dengan realitas masyarakat. Jika tidak, agama justru dianggap sebagai sesuatu yang ilusi.
“Para pendidik: guru, dosen, juga para ustaz, para khatib, mubaligh, mereka harus bisa menyampaikan pesan-pesan agama yang transformatif dan bisa sesuai dengan apa yang dialami oleh masyarakat. Tapi kalau kemudian, ketika khutbah taklim yang disampaikan itu sesuatu yang tidak relate, yang tidak membumi, tidak down to earth begitu ya dengan masyarakat, yang terjadi akhirnya masyarakat menjauh dari agama dan melihat agama bukan solusi, tapi malah kemudian agama itu menjadi sesuatu yang sifatnya ilusi, mengawang-awang,” ujarnya dalam program Kabar Petang: Kata-Kata Quotes Keren Inspiratif, Ternyata Mengandung Bahaya? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (30/9/2025).
Iwan menduga, kondisi tersebut muncul akibat ketidakmampuan da’i mentransformasikan pesan dalam kitab suci dan sunah Nabi agar relevan dengan permasalahan kehidupan saat ini.
“Nah, itulah karena ketidakmampuan sebetulnya para da’i kita di dalam mentransformasikan pesan-pesan di dalam kitab suci dan sunah Nabi itu secara relate dengan kehidupan sekarang,” tegasnya.
Apalagi, menurut Iwan, fenomena maraknya quotes di media sosial yang mencerminkan kesenjangan antar generasi. “Ini adalah sebuah gambaran terjadinya kesenjangan antara kalangan muda, ya Gen Z hari ini, dengan kalangan milenial dan apalagi baby boomer. Kesenjangannya dalam apa? Itu dalam bagaimana delivery message di dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat, khususnya pada kawula muda atau Gen Z, untuk memberikan motivasi dan sebagainya,” ujarnya.
Ia menyebut, Gen Z kini lebih banyak terpapar motivasi instan. “Celakanya banyak motivasi atau nasihat itu berdasarkan alam pikiran orang yang membuatnya tanpa berdasarkan kepada sebuah teori ilmiah secara psikologis apalagi berdasarkan agama. Padahal, kita bisa melihat efek yang negatif dari quote-quote tadi itu yang akhirnya banyak meracuni mental dan pemikiran kalangan muda atau Gen Z,” tegasnya.
Terkait maraknya quotes galau, Iwan menilai, hal ini sebagai gejala masyarakat sekuler. “Ini memang fenomena masyarakat dengan asas sekularisme. Melahirkan budaya yang kemudian sifatnya hedon. Ah, ini memang satu hal yang lahir dari asas masyarakat yang sekuler. Karena masyarakat sekuler kan tidak ada sandaran kepada agama,” jelasnya.
Ia mengingatkan, tren tersebut bisa berujung fatal. “Rasa galau mereka itu mereka tularkan di media sosial dan karena kayaknya nih gue banget, relate banget dengan kehidupan gue kata anak muda, akhirnya kemudian dijadikan salah satu inspirasi dalam pikiran mereka. Kalau agama sudah enggak dijadikan sandaran, apa sandarannya? Ya, pikiran mereka sendiri, perasaan mereka sendiri, yang celakanya itu banyak menjadi inspirasi kegalauan dan menjadi toksik yang ujungnya kemudian muncul pribadi-pribadi dengan mental lemah, bahkan juga muncullah fenomena bunuh diri di kalangan usia muda dan bahkan anak-anak,” terangnya.
Fenomena ini, lanjut Iwan, juga terlihat pada tren marriage is scary. “Memang itu kan orang ketika membuat quote itu kan berdasarkan pengalaman pribadi dia atau berdasarkan pengalaman pribadi orang lain, bukan berdasarkan pada sesuatu yang saintifik atau agama atau yang kemudian itu datang dari orang yang punya kompetensi. Dan ini kemudian bergelora di tengah-tengah masyarakat, diterima oleh masyarakat luas. Ini yang berbahaya,” ungkapnya.
Ia menyebut kondisi ini melahirkan strawberry generation. “Yaitu tidak muncul begitu saja, tapi itu lahir dari sebuah proses pendidikan yang terjadi bertahun-tahun dengan nilai-nilai sekularisme yang melahirkan hedonisme sehingga kemudian muncullah generasi stroberi. Pinginnya yang enak-enak, yang santai-santai, yang nyaman-nyaman, enggak siap menghadapi kesulitan hidup,” jelasnya.
Iwan juga menyoroti peran algoritma media sosial. “Bagi mereka yang penting kemudian viral, itu menjadi cuan bagi mereka dengan banyak diinstalnya aplikasi mereka di handphone. Mereka enggak memikirkan bahwa banyak konten-konten itu yang beracun, yang bisa menjadi perusak mental. Karena memang mereka kan membuat platform media sosial kan memang untuk cari uang, bukan untuk menjadi kesembuhan bagi masyarakat,” katanya.
Sebagai solusi, ia menyebut peran keluarga, pendidik, dan negara sangat penting. “Keluarga ini harus bisa menciptakan suasana dialog dengan anggota keluarga secara sehat dengan asas Islam tentunya. Yang kedua, para pendidik itu mereka harus bisa menyampaikan pesan-pesan agama yang transformatif. Kalau tidak, akhirnya masyarakat menjauh dari agama dan melihat agama sebagai sesuatu yang ilusi. Nah, lebih besar lagi siapa? Negara. Negara jangan membiarkan kondisi ini terjadi. Karena kalau ini terjadi, generasi muda kita menjadi generasi yang kemudian mereka less motivation,” tegasnya.
Sebagai jalan keluar, Iwan menekankan perlunya mengakhiri sekularisme. “Kita harus menyingkirkan sekularisme. Umat Islam harus memandang dan menilai bahwa sekularisme itu berbahaya. Jangan dibiarkan dan harus kembalikan umat ini kepada peradaban Islam! Di mana umat itu punya sandaran Al-Qur’an, sandaran tuntunan Nabi, punya nasihat dari para alim ulama yang mereka luar biasa, sehingga kemudian punya gairah hidup yang positif,” pungkasnya.
0 Komentar