ATURAN ISLAM MENYELESAIKAN JOB HUGGING


Oleh: Tien Surtini
Muslimah Peduli Umat

Job hugging adalah kondisi ketika seseorang (terutama anak muda) tetap bertahan di pekerjaan yang tidak lagi memuaskan demi menjaga posisi dan rasa aman di tengah ekonomi yang serba tidak pasti. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia; banyak negara lain mengalaminya. Banyak pekerja memilih bertahan karena prospek kerja baru samar, biaya berpindah karier tinggi, dan pasar tenaga kerja terasa sempit. Alhasil, mereka terus bekerja dalam ketidakpastian, sekalipun kepuasan kerjanya rendah.

Akar masalahnya saling terkait. Ketidakstabilan ekonomi dalam kerangka kapitalisme mendorong orang mencari keamanan finansial jangka pendek, sementara kualitas pekerjaan tidak kunjung membaik dan lapangan kerja baru terbatas. Peran negara dalam penyediaan kerja cenderung bergeser kepada swasta, sumber daya dikuasai segelintir kapitalis, dan aktivitas nonriil serta praktik ribawi yang kurang menyerap tenaga kerja. Di saat yang sama, meskipun perguruan tinggi mengklaim kurikulumnya adaptif, liberalisasi perdagangan (termasuk jasa) membuat negara semakin lepas tangan dalam memastikan warganya memperoleh pekerjaan layak.

Berbeda dengan paradigma tersebut, Islam menata urusan kerja agar manusia ditempatkan sesuai kemampuan, sementara kebutuhan dasar rakyat dijamin. Karena itu, job hugging tidak relevan sebagai gejala massal dalam sistem Islam, karena: pekerja diarahkan pada kecakapan (kifayah) dan kemaslahatan, bukan sekadar bertahan hidup.

Bagaimana caranya? Pertama, negara berkewajiban menjadi penanggung jawab utama urusan rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja yang memadai, bukan menyerahkannya sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Kedua, kebijakan ditekankan pada penciptaan kerja yang nyata: pengelolaan sumber daya alam untuk kemaslahatan umum, dorongan industrialisasi, pembukaan akses lahan produktif, serta bantuan modal, prasarana, dan pelatihan keterampilan agar masyarakat benar-benar produktif. Ketiga, pendidikan dan dunia kerja dibingkai ruh keimanan serta standar halal-haram sehingga terbentuk etos kerja yang jujur, amanah, dan profesional. Keempat, pelayanan publik dijalankan sebagai ibadah; artinya, kebijakan dirancang berpihak pada kebutuhan manusia, bukan semata-mata keuntungan.

Dengan arsitektur seperti ini, Islam menawarkan mekanisme yang berbeda dari kapitalisme: negara menjadi aktor sentral yang menjamin kebutuhan rakyat sekaligus mencipta dan mengelola kesempatan kerja secara adil dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, problem job hugging dapat ditangani dari akarnya: ada jaminan kebutuhan dasar, arah kerja yang produktif, serta penempatan sesuai kemampuan. Untuk itu dibutuhkan negara yang menegakkan aturan Islam secara kaffah (Daulah Khilafah yang dipimpin seorang khalifah) agar kebijakan ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan berjalan terpadu dan berorientasi pada kemaslahatan.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

Posting Komentar

0 Komentar