GAZA, TAK BUTUH SOLUSI DUA NEGARA


Oleh: Rumaisha
Pejuang Literasi

Kondisi Gaza kian memburuk. Serangan demi serangan terus dilancarkan oleh Zionis Israel dengan dukungan penuh Amerika Serikat. Rumah sakit luluh lantak, ribuan anak menjadi yatim, dan blokade yang sudah berlangsung belasan tahun kini semakin mencekik. Dunia hanya bisa menyaksikan penderitaan yang tak berkesudahan, tanpa satu pun negara yang benar-benar berdiri di sisi Gaza. Namun, yang lebih miris lagi adalah pernyataan salah seorang pemimpin negara yang baru-baru ini viral.

Presiden RI Prabowo Subianto, untuk ketiga kalinya, secara eksplisit membahas solusi dua negara (two-state solution) terkait konflik Israel-Palestina. Two-state solution adalah usulan penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina yang bertujuan untuk membentuk dua negara, yaitu satu untuk Israel dan satu untuk Palestina (Tribunnews, 23/9/2025).

Dalam situasi yang semakin gelap ini, solusi dua negara kembali diangkat oleh Amerika dan sekutunya. Narasi ini seolah menjadi jalan tengah yang rasional untuk mengakhiri konflik panjang. Padahal, di baliknya tersimpan ilusi besar, yaitu upaya untuk menormalisasi penjajahan dan menutup mata atas kejahatan yang nyata.

Bila dicermati, gagasan dua negara justru lahir dari keputusasaan politik dunia Barat dalam menghadapi keteguhan rakyat Gaza dan para pejuang Palestina. Mereka tidak pernah menyerah, meskipun diblokade, diserang, dan diisolasi. Dunia Barat mulai sadar bahwa kekuatan moral dan spiritual rakyat Gaza tak bisa dipatahkan, sehingga solusi dua negara dijadikan dalih untuk meredam gelombang simpati global terhadap perjuangan mereka.

Namun, apa arti “kemerdekaan Palestina” jika hanya di atas 20–30 persen tanah yang tersisa? Bukankah itu berarti mengakui pencaplokan lebih dari dua pertiga wilayah yang secara historis dan moral adalah milik umat Islam? Mengakui negara Palestina versi dua negara sama artinya dengan melegitimasi perampasan yang dilakukan oleh entitas Zionis selama puluhan tahun.

Lebih menyedihkan lagi, gagasan ini justru digaungkan pula oleh sebagian pemimpin negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Dengan dalih realisme politik dan diplomasi, banyak pihak ikut mengamini solusi yang sesungguhnya menjauhkan umat dari cita-cita pembebasan sejati. Padahal, sejarah mengajarkan bahwa tidak ada penjajahan yang bisa diakhiri dengan kompromi yang timpang.

Rakyat Gaza tidak butuh belas kasihan, melainkan keadilan. Mereka tidak menuntut simpati kosong, tetapi solidaritas nyata yang berpihak pada kebenaran. Dunia Islam seharusnya bersatu dalam langkah politik dan kemanusiaan yang kuat, membangun koordinasi diplomatik, menekan lembaga internasional agar menghentikan agresi, serta mendesak penghapusan blokade total terhadap Gaza.

Kita membutuhkan kepemimpinan yang berani menolak standar ganda Barat, bukan hanya mengikuti ritme diplomasi yang tidak pernah berpihak kepada kaum tertindas. Negeri-negeri Muslim memiliki potensi besar, baik dari segi sumber daya, politik, maupun moral, untuk bersatu melindungi rakyat Palestina. Jihad fi sabilillah dengan komando dari seorang khalifah adalah solusi hakiki untuk penyelesaian Palestina.

Terlebih lagi, Islam mengajarkan bahwa kemuliaan umat bergantung pada kesatuan dan keteguhan dalam menegakkan keadilan. Selama dunia Islam terpecah dan lebih sibuk dengan urusan domestik masing-masing, maka Gaza akan terus menjadi korban dari kelalaian kolektif. Karena itu, pembebasan Palestina bukan semata isu kemanusiaan, tetapi juga ujian moral bagi seluruh umat Islam di dunia.

Sudah saatnya dunia Islam menempuh jalan yang berbeda, jalan yang bersandar pada persatuan, kedaulatan, dan prinsip keadilan sejati sebagaimana diajarkan Islam. Hanya dengan langkah politik yang tegas, berpihak kepada kebenaran dan menolak segala bentuk penjajahan, kehormatan Gaza dan Palestina dapat ditegakkan kembali. Semua itu akan bisa terwujud ketika umat hari ini memiliki seorang pemimpin yang menerapkan hukum Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah.

Wallahu a'lam bishshawwab

Posting Komentar

0 Komentar