
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan politik
Baik pelapor, Presiden, kubu Pro Presiden maupun yang kontra, sebenarnya semua sama-sama meyakini bahwa tindakan melaporkan Presiden yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan tidak mungkin diproses secara hukum. Jangankan hanya soal pelanggaran protokol kesehatan, Presiden korupsi pun KPK tidak akan bisa memprosesnya.
Sebab, Presiden tidak bisa diproses secara hukum. Presiden hanya bisa diproses secara politik, baik melalui DPR yang berujung ke MK atau proses politik jalanan yang memaksa Presiden mengundurkan diri.
Di DPR, proses politiknya adalah melakukan pemakzulan dengan mengaktifkan pasal 7A UUD 45. Di jalanan, ada proses tekanan publik yang memaksa Presiden mengundurkan diri. Tidak ada mekanisme kontrol untuk menghukum seorang Presiden, kecuali melalui dua jalan ini.
Hanya saja, pelaporan terhadap Presiden meskipun tidak diterima polisi, adalah suatu proses yang secara pasti mendelegitimasi Presiden yang jika hal ini bertumpuk, pada suatu ketika akan berakhir dengan gerakan rakyat yang menuntut dan memaksa Presiden mengundurkan diri. Delegitimasi inilah, yang menjadi tujuan pihak yang kontra Jokowi juga yang mengkhawatirkan pihak yang pro Jokowi. Bukan proses hukumnya.
Karena itu, meskipun kubu rezim Jokowi yakin se yakin yakinnya laporan polisi terhadap Jokowi tak mungkin diproses karena semua kendali kekuasaan dan aparat penegak hukum ada ditangan Presiden, tetapi mereka sangat khawatir dan ketakutan adanya delegitimasi kekuasaan Presiden yang jika terus menumpuk akan berujung tragedi. Menolak laporan yang mengadukan presiden satu sisi menyelamatkan presiden. Sisi yang lain, tindakan ini menumpuk delegitimasi yang suatu saat pada puncaknya akan meledak dan menyebabkan gerakan politik sosial yang tidak dapat dikontrol Presiden.
Gerakan pemakzulan melalui pengaktifan pasal 7A UUD 45, bisa dipastikan mudah dikebiri. Sebab, semua partai ada dibawah kendali Presiden. Tetapi gerakan rakyat? Tidak bisa dibendung, atau dikendalikan. Kezaliman yang bertumpuk, pada suatu ketika akan menjadi tsunami politik yang dapat menghempaskan kekuasaan Presiden.
Saya kira, dalam aspek isu 'delegitimasi' inilah, kedua kubu baik yang pro maupun yang kontra, sedang berada dalam ikhtiar perjuangannya. Pada titik tertentu, benturan ini akan menghasilkan ledakan dahsyat, persis seperti ledakan gerakan rakyat yang memaksa Soeharto mengundurkan diri.
Gerakan ini, lebih ada pada kendali otoritas rakyat ketimbang gerakan parlemen yang telah dikhianati partai politik. Gerakan ini, lebih menjanjikan hasil ketimbang menyampaikan aspirasi melalui Dewan Pengkhianat Rakyat.
Saat ini, pengumpulan kekuatan delegitimasi ini sedang mengalami konsolidasi alamiah. Setiap peristiwa yang kontra keadilan, seperti pelanggaran protokol kesehatan oleh Presiden, dijadikan momentum untuk mengkapitalisasi kekuatan gerakan.
Seluruh mata dan telinga rakyat, mengawasi gerak gerik penguasa. Legalisasi miras, selain menguatkan delegitimasi juga dapat memicu sentimen keislaman untuk bergerak lebih masif guna menyelamatkan bangsa ini dari kemaksiatan yang merajalela.
Sampai kapan? Sampai waktu yang telah ditetapkan, tidak cepat tidak juga terlambat. Semua kekuasaan yang zalim, pasti akan jatuh karena kedzalimannya. [].

0 Komentar