PERCERAIAN MENINGKAT, CERMIN RETAKNYA KETAHANAN KELUARGA


Oleh: Yani Suryani, M.Pd.
Pendidik dan Pemerhati Kebijakan Publik

Pengadilan Agama (PA) Tigaraksa mencatat sebanyak 6.113 kasus perceraian terjadi sepanjang tahun 2025. Dari jumlah tersebut, sekitar 4.009 perkara berasal dari wilayah Kabupaten Tangerang, sementara 2.104 perkara lainnya dari Kota Tangerang Selatan (Tangsel).

Panitera Muda Gugatan PA Tigaraksa, Yasmita, menyebutkan bahwa kasus perceraian yang terjadi pada tahun 2025 ini naik sekitar 500 kasus dibanding tahun sebelumnya. Angka ini meningkat dari tahun 2024 yang tercatat sekitar 5.600 kasus, artinya ada peningkatan sekitar 8–9%. Mayoritas gugatan cerai datang dari pihak istri (sekitar 5.134 kasus), sedangkan sisanya adalah cerai talak dari pihak suami (~979 kasus) (Tangerang News, 10/11/2025).

Angka perceraian yang sangat tinggi sudah seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Saat ini, pasangan yang menikah terkadang belum memiliki modal yang paripurna. Pernikahan yang dilakukan kadang-kadang karena sudah terlalu lama pacaran atau bahkan karena kecelakaan. Memang tidak semua, masih banyak juga pasangan yang menikah karena murni ingin beribadah atau didasari visi dan misi yang sama. Namun, dengan banyaknya jumlah perceraian ini, seolah ikatan yang sakral ternodai.

Kondisi tingginya angka perceraian membuktikan bahwa penyebabnya bukan hanya perkara individu, tetapi juga masalah sistematis. Ada yang bercerai dengan alasan ekonomi, dan ini juga masuk akal karena pada saat ini angka pengangguran di negara ini tinggi. Apalagi bagi pasangan muda, banyak yang mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dan menghadapi PHK. Artinya, harus ada peran negara untuk membuka pintu rezeki bagi rakyatnya.

Perceraian akan berdampak pada semua anggota keluarga. Selain suami dan istri, anak pun akan menjadi pihak yang terkena dampaknya. Ekonomi, depresi, stres, dan hilangnya kepercayaan diri, termasuk sanksi sosial, merupakan hal yang akan dihadapi di depan mata dengan adanya perceraian. Banyak anak yang menjadi korban perceraian akhirnya merasa dikucilkan, diabaikan, dan merasa bahwa hidupnya tidak memiliki manfaat karena keluarganya hancur.

Belum lagi perceraian juga membuat pasangan yang ingin menikah malah merasa takut dan khawatir jika nanti akan mengalami hal serupa, yaitu menikah namun akhirnya bercerai. Hingga akhirnya banyak pasangan yang enggan menikah dan memilih pacaran, namun tetap melakukan maksiat. Akhirnya, kita jumpai anak-anak yang kurang beradab dalam menjalankan kehidupan.

Yang perlu diingat adalah bahwa perceraian itu memang diperbolehkan, tetapi itu dibenci, dan ini merupakan jalan terakhir. Kata "dibenci" inilah yang seharusnya menjadi dasar agar semua pasangan tidak selalu menganggap bahwa dengan bercerai, masalah akan selesai. Apalagi yang membenci perceraian dalam konteks ini adalah pencipta manusia yang Maha Tahu alasan dari dibencinya perceraian itu.

Faktanya, banyak anak yang mengalami kondisi orang tuanya bercerai malah menjadi anak yang rentan dengan masalah. Meningkatnya angka perceraian juga menunjukkan bahwa ketahanan keluarga dalam masyarakat sedang mengalami masalah dan dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Tingginya angka perceraian juga bisa disebabkan oleh lemahnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pernikahan menurut Islam. Akibat sistem sekuler yang melahirkan masyarakat individualis materialistis, kebahagiaan sering dinilai dari materi, dan lemahnya sistem pendidikan dalam membina masyarakat yang bersyaksiyah Islam.

Oleh karena itu, sudah seharusnya semua pihak bersinergi untuk memahamkan tujuan dan maksud dari pernikahan itu sendiri. Negara pun harus ikut berjibaku untuk bersama-sama mengatasi hal ini. Saat ini, program untuk pasangan pengantin (Bimcatin) dan Tepuk Sakinah sepertinya belum bisa diandalkan untuk menjamin keberlangsungan keutuhan rumah tangga.

Posting Komentar

0 Komentar