
Oleh: Desti Sundari
Muslimah Ibu Generasi
Heboh… Gubernur Papua, didampingi sejumlah pejabat Pemprov, mendatangi keluarga mendiang Irene Sokoy yang meninggal dunia bersama bayi dalam kandungannya, di Dermaga Kampung Ifar Besar, Jayapura (BBC, 21/11/2025).
Di tengah pertemuan yang penuh haru itu, keluarga Irene kembali menceritakan kejadian awal mencari pertolongan medis, dari Kampungnya Kensio Danau Sentani karena di sana tidak memiliki fasilitas kesehatan dasar. Demi menyelamatkan nyawa Irene dan bayinya, keluarga bergegas menempuh perjalanan panjang dengan "speed boat" menuju RSUD Yowari, satu-satunya harapan terdekat.
Ironisnya, sesampainya di rumah sakit, rangkaian penanganan yang tampak normal justru berubah menjadi rangkaian kelalaian yang menyakitkan. Pemeriksaan awal menunjukkan kondisi ibu dan bayi stabil, pembukaan sudah lima sentimeter. Namun, ketika pembukaan tak kunjung bertambah, Irene hanya dipindahkan ke ruang bersalin tanpa pengawasan dokter yang memadai, sekadar mengikuti arahan jarak jauh.
Mulai dari saran pemberian obat perangsang hingga diminta menebus resep pun dilakukan. Hingga ketuban pecah pukul 20.00 WIT, detak jantung janin tiba-tiba menurun. Saat nyawa berada di ambang batas, dokter akhirnya merekomendasikan operasi. Namun, di saat paling krusial itu, dokter kandungan justru tidak berada di rumah sakit.
Irene akhirnya dirujuk ke RS Dian Harapan. Alfonsina Kabey, ipar Irene yang mendampingi proses rujukan, mengaku panik melihat kondisi Irene yang terus melemah tanpa ada satu pun dokter yang menangani.
Setiba di RS Dian Harapan Waena, pasien ditolak dengan alasan ruang penuh. Keluarga lalu menuju RSUD Abepura, bukannya dirawat, mereka hanya diberitahu bahwa ruang operasi sedang direnovasi, sehingga pasien tak bisa ditangani.
Atas arahan RSUD Abepura, keluarga melanjutkan ke RS Bhayangkara Jayapura, rumah sakit keempat hari itu. Namun setelah dicek, RS Bhayangkara Jayapura menyatakan pasien merupakan peserta BPJS kelas 3 yang dibiayai pemerintah. Atas dasar itu, pihak rumah sakit menyatakan ruang penuh, dan menginformasikan bahwa yang tersedia hanya ruang VIP. Untuk itu, pihak keluarga diminta membayar Rp. 4 juta, namun karena tidak punya uang, maka tidak dilakukan tindakan medis di IGD melainkan perawatan hanya dilakukan di dalam mobil.
Keluarga kemudian diarahkan ke RS Dok II Jayapura, namun kondisi Irene memburuk di perjalanan. Ia gelisah, sesak, lalu kehilangan kesadaran sebelum akhirnya menutup mata untuk terakhir kalinya. Perasaan sedih dan kecewa sudah pasti dirasakan pihak keluarga, namun apa daya, kita hanya masyarakat biasa yang tidak memiliki kemampuan dalam hal ekonomi.
Inilah gambaran nyata betapa lemahnya sistem kesehatan dalam melayani masyarakat saat ini. Ketimpangan tenaga medis di daerah terpencil membuat mereka menggantungkan hidup pada nasib. Masalah administrasi sering lebih cepat menolak daripada menolong, sementara birokrasi BPJS memperlambat respons kritis untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Dampak Sistem Kapitalis terhadap Layanan Kesehatan
Inilah dampak sistem sekuler kapitalis yang mengubah layanan kesehatan dari kewajiban negara menjadi ladang bisnis. Rumah sakit beroperasi layaknya perusahaan yang mengejar keuntungan, sementara pasien diperlakukan sebagai konsumen. Akibatnya, banyak rumah sakit yang melakukan penolakan pelayanan medis terhadap pasien hanya karena tidak mampu membayar biaya administrasi.
Padahal, ketika negara lalai dalam menjamin kesehatan rakyatnya, apalagi hingga nyawanya tidak tertolong, itu merupakan bentuk kezaliman. Sebab, setiap masyarakat berhak mendapat jaminan layanan kesehatan yang mudah diakses, berkualitas, tanpa diskriminasi ekonomi, bahkan gratis.
Solusi Islam dalam Layanan Kesehatan
Sistem aturan kapitalis-sekuler berbeda jauh dengan sistem Islam yang memiliki mekanisme pelayanan kesehatan secara fundamental. Islam memandang kesehatan sebagai hak rakyat dan kewajiban negara, bukan komoditas. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا
"Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia." (QS. Al-Maidah: 32)
Ayat ini menjadi dasar bahwa menjaga nyawa adalah kewajiban besar negara dalam Islam, termasuk memastikan pelayanan kesehatan yang benar. Pendanaan layanan kesehatan diambil melalui baitul mal dari pos kepemilikan umum seperti minyak, gas, dan tambang serta pos fai, kharaj, dan jizyah, sehingga tidak ada BPJS, iuran, atau penolakan pasien seperti saat ini.
Sehingga setiap masyarakat mendapatkan pelayanan terbaik dengan fasilitas yang memiliki kualitas standar tinggi, mulai dari penyediaan tenaga medis seperti dokter, perawat yang tersebar hampir di seluruh wilayah Daulah Islam, obat-obatan yang terjamin kualitas keamanannya, hingga ruang rawat yang layak bagi setiap pasien.
Negara juga memastikan tersedianya ambulans yang cukup, sistem rujukan yang cepat dan terpadu. Selain itu, negara juga akan memberikan edukasi tentang kesehatan, kebersihan, dan pencegahan penyakit sebagai bagian dari pelayanan publik. Dengan mekanisme ini, layanan kesehatan kembali pada tujuan sejatinya, melindungi dan menyelamatkan rakyat, bukan mencari profit.
Bukti Nyata Pelayanan Kesehatan dalam Islam
Maka, rumah sakit Bimaristan adalah salah satu bukti sejarah di masa negara menerapkan aturan Islam, yakni khilafah, sejak abad ke-8 yang menjadi pusat pelayanan dan pendidikan medis. Memberikan layanan gratis, memiliki dokter spesialis, bangsal terpisah, apotek, dan catatan medis yang jauh lebih maju dibandingkan rumah sakit Eropa pada masanya. Bimaristan juga berfungsi sebagai pusat riset sekaligus tempat melahirkan standar etika dan praktik kedokteran modern.
Inilah bukti nyata dari penerapan aturan syariat Islam secara menyeluruh dalam aspek kehidupan. Di mana pemimpin negara memberikan pelayanan nyata dalam kesehatan, bukan hanya edukasi saja atau pun pencitraan semata. Maka solusi penjagaan setiap jiwa manusia dari lemahnya sistem layanan kesehatan saat ini adalah negara kembali menerapkan aturan Allah, yakni syariat Islam, dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahua'lam bissawab.

0 Komentar