
[Catatan Tanggapan Untuk Haris Rosly Moti, atas Artikel berjudul "Trauma 'Negara Kuat' Dan Nasib Indonesia Yang Dibajak Oligarki Maling dan Kartel Serakah".]
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
"Kita butuh keseimbangan politik baru, yaitu keseimbangan antara kekuatan negara dengan sistem yang tertata dan terpimpin, yang didukung masyarakat sipil yang kuat dan berkesadaran nasionalis, disertai pasar yang terkendali. Tidak tepat lagi membangun negara dengan ekstrem top down, juga terlalu beresiko sistemnya terlalu ekstrem bottom up." [Haris Rusly Moti]
Pada 4 Desember 2017 lalu, Bung Haris Rusly Moti menulis artikel dengan judul "Trauma 'Negara Kuat' Dan Nasib Indonesia Yang Dibajak Oligarki Maling dan Kartel Serakah". Pada uraian tulisannya, saya dapat membaca betapa mimpi indah tentang kebebasan dalam demokrasi yang dahulu didambakan pada Era Orde Baru, tak seindah kenyataannya. Keran 'liberalisme Ekstrim' di Era Jokowi, justru menjadikan Indonesia berada pada kenyataan buruk, negara menjadi lemah dibajak Oligarki Maling dan Kartel Serakah.
Artikel ini kembali beredar di GWA Indonesia Progres. Selain tetap relevan untuk dibaca, artikel ini layak dan penting untuk ditanggapi.
Diskursus tentang Negara kuat dan rakyat berdaulat, selalu menjadi objek pertentangan sejak lama. Ada Postulat yang menyimpulkan bahwa jika Negara kuat rakyat lemah, saat rakyat kuat Negara melemah. Belum ditemukan konstruksi konsepsi ideal, yang bisa menyatukan visi kuatnya Negara yang didukung oleh kontrol rakyat yang maksimal.
Akhirnya, publik dihadapkan pada dua kutub pemikiran ekstrim. Konsepsi Negara, selalu didikotomikan pada posisi berhadap-hadapan. Kalau tidak otoriter ya demokratis. Kalau tidak sosialisme komunisme ya kapitalisme liberalisme. Kalau tidak ekonomi terpimpin ya ekonomi pasar. Kalau tidak kepemimpinan otoritatif ya kepemimpinan demokratis.
Lantas, terjadi diskursus pemetaan atas kelebihan dan kekurangan atas dua kutub ekstrim tersebut. Kepemimpinan sosialisme yang sentralistik, lebih otoritatif dan menjadikan Negara kuat. Namun, peranan masyarakat sipil menjadi lemah, bahkan suara yang berbeda dengan kekuasaan cenderung dibungkam.
Sebaliknya, kepemimpinan demokratis menguatkan peran masyarakat sipil. Namun, karena terlalu banyaknya kritik rakyat negara menjadi lemah. Beberapa kebijakan yang diambil tidak bersifat eksekusiable karena banyaknya penentangan publik.
Akhirnya, diambil kesimpulan kompromistis. Yakni, disadari demokrasi bukanlah sistem terbaik. Namun, demokrasi masih jauh lebih baik ketimbang pemerintahan yang otoriter dan sosialistik. Dengan segala cacat bawaan yang melekat pada demokrasi, banyak pihak akhirnya terpaksa 'bersepakat' atas demokrasi karena buntu, tak ada solusi lainnya.
Dilema Negara Kuat vs Rakyat Kuat
Pada umumnya, teori politik sekuler selalu mempertentangkan antara kekuasaan yang kuat dengan masyarakat sipil yang kuat. Kekuasaan yang absolut, otoriter, bahkan despotik dan Tiran dianggap sebagai representasi negara yang kuat. Parameter utamanya, adalah kemampuan Negara mengesekusi kebijakan secara afektif, tanpa kontra dan penentangan publik.
Sebaliknya, kebebasan masyarakat sipil tanpa definisi yang jelas, dianggap sebagai ciri kekuatan rakyat. Konklusinya, akan selalu ada pertentangan antara Negara dan Rakyat. Padahal, eksistensi Negara dibentuk untuk melayani hajat rakyat, yang tak mungkin dilakukan secara individual, melainkan butuh otoritas kepemimpinan sebagai Manager Kekuasaan, untuk menentukan kebijakan dan keputusan untuk dilaksanakan secara kolektif oleh seluruh rakyat, demi pencapaian tujuan kolektif yakni pemenuhan hajat hidup rakyat.
Orde baru dibawah kendali Soeharto, boleh jadi dalam satu aspek merepresentasikan eksistensi Negara kuat dengan ciri utama stabilitas keamanan dan politik sehingga Negara bisa berfokus untuk merealisasikan visi pertumbuhan ekonomi. Namun, Orde Baru juga merepresentasikan eksistensi Rakyat yang lemah. Nyaris, suara kritis rakyat tak sempat muncul ke permukaan, disebabkan tangan-tangan kekuasaan telah membelenggu bahkan membungkam suara kritis rakyat.
Aktivis pergerakan era Orde Baru, merasakan betul bagaimana kebebasan berekspresi dibungkam pada era orde baru. Pada penghujung kekuasaan saja, Orde Baru mulai terbuka khususnya mulai mengakomodir ekspresi dan aspirasi keislaman yang terlembaga diantaranya melalui terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Wadah bagi kaum intelek Indonesia ini dibentuk pada 1990 tepatnya dalam sebuah pertemuan di Kota Malang pada 6-8 Desember 1990. Bacharudin Jusuf Habibie, menjadi orang pertama yang ditunjuk mengepalai ICMI. Ia kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi era pemerintahan Soeharto ketika itu.
Era kejatuhan Soeharto dianggap era berakhirnya eksistensi Negara kuat. Rakyat bermetamorfosis menjadi kekuatan penting, seiring dibukanya keran ekspresi kebebasan sipil secara luas. Belakangan, kebebasan sipil itu menjadi kebablasan seiring tidak terdefinisikannya dengan baik, apa yang dimaksud sebagai kebebasan sipil.
Arus kebebasan menjadi liberal mengikuti arah strategi barat melalui Amerika, yang ingin melemahkan negara ini. Sejumlah amandemen konstitusi dilakukan, dalam konteks 'menguatkan kebebasan masyarakat sipil'. Kewenangan DPR diperkuat, dibentuk sejumlah lembaga kontrol dari Komisi Yudisial hingga Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, ditengah rakyat menjamur LSM dan kegiatan masyarakat yang mengekspresikan kebebasan sipil. Pengarusutamaan demokrasi, kebebasan HAM, menjadi narasi utama nilai idiil yang dijadikan parameter keutamaan. Jika tidak demokratis, maka Negara dan Rakyat akan menjauh dari tujuan dibentuk kekuasaan yakni keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Perseteruan narasi Negara otoriter yang merepresentasikan Negara kuat dengan Negara demokratis yang melambangkan kekuatan masyarakat sipil yang kokoh, menjadi diskursus antagonis. Seolah, menyatukan visi Negara dan Rakyat yang kuat seperti menyatukan air dan minyak.
Jika ada kritik terhadap Demokrasi, dianggap pro otoriterianisme. Diskursus Negara kuat, juga dipaksa merujuk model Negara Komunis yang otoriter. Demikianlah, perseteruan antara Negara kuat dan Rakyat Kuat tak pernah bertemu dan menemukan titik kompromi.
Era Jokowi, Negara Lemah, Rakyat Lemah, Oligarki dan Partai Politik Mengendalikan Negara dan Rakyat Secara Otoriter
Pada Era Jokowi, bangsa ini menemukan titik terendah dalam merumuskan relasi antara Negara kuat dan rakyat kuat. Alih-alih, mampu membentuk sintesa, menemukan titik kompromi agar Negara Kuat didampingi oleh Rakyat yang kuat, keadaannya justru kebalikannya.
Pada era Jokowi ini, kebebasan sipil benar-benar dibelenggu, dibungkam, bahkan diberangus. Cara-cara pembungkaman yang yang ditempuh tidak lagi mengadopsi apa yang pernah ditempuh oleh Orde Baru, melainkan membungkusnya dengan legitimasi hukum. Di era Jokowi, hukum dan aparat penegak hukum benar-benar telah menjadi alat kekuasaan yang efektif untuk melayani kepentingan penguasa.
Sayangnya, pemberangusan hak kebebasan sipil ini yang jelas melemahkan rakyat, tak pula menguatkan Negara. Yang mendapat benefit dari pembungkaman, bukanlah keadaan Negara yang menjadi kuat, sehingga mampu mengeksekusi kebijakan dan keputusan untuk melayani hajat rakyat. Negara telah dikuasai oligarki dan partai politik, yang menjadikan Negara sebagai alat untuk melayani kepentingan para oligarki dan partai politik.
Pada kasus terbitnya UU Omnibus Law Cipta Kerja misalnya, Negara benar-benar telah menjadi alat oligarki untuk menciptakan lahan para kapitalis untuk berproduksi, menyiapkan Tenaga Kerja dengan upah murah, melayani kemudahan distribusi barang dan jasa bagi produk mereka melalui sejumlah proyek pembangunan infrastruktur, bahkan menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan baku sekaligus market bagi produk mereka. Oligarki yang dimaksud adalah para kapitalis, baik lokal, nasional maupun global, baik yang murni pengusaha atau yang sekaligus merangkap sebagai penguasa, juga mereka yang mengendalikan partai politik.
Oligarki inilah, yang telah memanfaatkan Negara sebagai instrumen kekuasaan untuk kelancaran bisnis mereka, menumpuk harta melalui eksploitasi sumber daya alam dan rakyat, dimana era kapitalisme Negara saat ini tidak lagi berpijak pada asas Laissez-faire (pasar bebas). Negara telah disalahgunakan menjadi agen kapitalis, untuk menyiapkan bahan baku, lahan produksi, tenaga kerja murah, sarana distribusi sekaligus menjadikan rakyat sebagai market mereka. Ini adalah era 'Kegilaan Kapitalisme' yang dahulu belum sempat terfikirkan oleh Adam Smith, David Ricardo maupun Jhon Maynard Keynes.
Ekonomi tidak lagi didesain oleh Negara untuk melayani kepentingan rakyat, tapi telah didesain untuk melayani kepentingan kaum kapital. Terbitnya UU Omnibus Law, UU Minerba, UU KPK, semua itu mengarah pada tujuan negara melayani kaum oligarki. Sayangnya, lembaga seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi yang didesain sebagai alat kontrol politik dan kontrol konstitusi, telah berubah menjadi stempel kekuasaan.
Semua produk legislasi dari eksekutif, baik RUU maupun Perppu, dilegalisasi DPR tanpa ada perlawanan. Semua produk hukum baik Perppu maupun UU, ditolak oleh MK saat ada individu atau rakyat yang mengujinya.
Era Jokowi, adalah era dimana Rakyat diperlemah dengan sejumlah pemberangusan, hingga optimalisasi institusi kepolisian melalui sejumlah kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis, baik menggunakan UU ITE maupun KUHP, bahkan terakhir menggunakan instrumen UU Pandemi berdalih menegakkan disiplin protokoler kesehatan. Era Jokowi, juga era dimana Negara juga lemah, karena sejumlah kebijakan yang dibentuk bukan dalam rangka melayani rakyat, tetapi melayani kepentingan oligarki. Otoriterianisme negara yang dibungkus legitimasi hukum, digunakan untuk melayani kepentingan oligarki bukan kepentingan Negara guna melayani kepentingan rakyatnya.
Era Jokowi menandai era dimana Negara lemah, rakyat juga lemah. Yang digdaya adalah kaum oligarki dan partai politik.
Khilafah, Konsepsi Politik Negara Kuat dan Rakyat Kuat
Kekeliruan sebagian anak bangsa yang menutup diri pada ide Khilafah, adalah karena terjebak pada narasi 'Kalau Tidak Demokratis maka Kekuasaan akan Otoriter'. Kekuasaan yang otoriter, akan mengantarkan pilihan kekuasaan yang dinarasikan seperti kekuasaan Stalin, Lenin, Hitler, Musollini, atau setidak-tidaknya mengingatkan memori kelam pada represifme Orde Baru.
Karena itu, ketika ada tawaran konsepsi Khilafah yang menolak Demokrasi, menolak ide kedaulatan rakyat, mengajukan konsepsi kedaulatan Syara', para pengagum demokrasi membayangkan kekuasaan Khilafah akan seperti kekuasaan Stalin, Lenin, Hitler, Musollini, atau setidak-tidaknya seperti kekuasaan Soeharto. Mereka, tanpa sadar ikut latah menolak Khilafah tanpa mendalami detail konsepsi Khilafah.
Padahal, jika mereka mau untuk berfikir sejenak, mendalami rincian konsepsi Khilafah, sebenarnya konsepsi Khilafah adalah jawaban dari kegelisahan yang sedang dialami umat ini. Jawaban, atas dilema Negara Kuat dan Rakyat yang lemah, atau Rakyat yang Kuat dan Negara yang Lemah.
Berbagai praduga yang keliru, diantarnya tiadanya pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang kesemuanya ada pada Khalifah baik secara langsung maupun melalui pendelegasian, dianggap akan menjadikan kekuasaan Khilafah akan Tiran dan tak bisa dikontrol rakyat. Padahal, dalam konsepsi Khilafah mandat kekuasaan yang diberikan Syara' dibatasi dengan hukum Syara'. Itu artinya, Khalifah yang memiliki kekuasaan otoritatif tetap tak bisa bertindak sekehendak hati, karena kekuasaan itu wajib dijalankan berdasarkan hukum Syara'.
Rakyat juga mudah mengontrol kekuasaan Khalifah dengan parameter yang jelas, yakni hukum Syara'. Itu artinya, Negara dan rakyat akan berjalan beriringan diatas koridor Syara'. Tidak akan ada pertentangan Antara Negara dan Rakyat, karena keduanya memiliki parameter yang sama.
Negara menjalankan kekuasaan berdasarkan syariat, rakyat melakukan kontrol terhadap Negara berdasarkan Syariat. Ketaatan rakyat kepada negara berlandaskan syariat, sementara itu keterikatan Negara pada kontrol yang diberikan rakyat juga berdasarkan syariat. Hubungan sinergis ini akan melahirkan pola interaksi kekuasaan sebagai berikut :
Pertama, Negara akan menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum syariat dan tidak terikat selain dengan syariat. Dengan demikian, Negara tak akan melakukan perubahan konstitusi dan perundangan berdasarkan kepentingan kapitalis, atau tekanan oligarki, melainkan Negara akan patuh dan taat pada norma yang diadopsi dari hukum syariat.
Kedua, Rakyat memiliki kewajiban mentaati Negara sepanjang Negara mentaati syariat. Kewajiban ini menjadi kewajiban yang sifatnya mengikat, pada seluruh kebijakan yang ditetapkan Negara. Sehingga, tak akan ada rongrongan dari rakyat atas kebijakan yang ditetapkan berdasarkan syariat.
Ketiga, kebijakan yang tidak berlandaskan syariat wajib dikoreksi rakyat, haram bagi rakyat mentaati kebijakan negara yang menentang syariat. Bagi Negara, wajib bersikap legowo dikoreksi oleh rakyat, karena koreksi itu bukan atas kepentingan rakyat melainkan kehendak syariat.
Keempat, untuk urusan yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, bukan terkait dengan syariat, Negara wajib memenuhi atau mengikuti apa yang menjadi kehendak rakyat. Filosofinya, Negara itu pelayan rakyat jadi pelayan harus melayani sesuai dengan kehendak majikannya.
Kelima, kehendak rakyat yang bertentangan dengan syariat, seperti menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, tak boleh dipenuhi oleh Negara. Negara, bahkan berkewajiban mengedukasi rakyatnya tentang syariat dimaksud, mendampingi rakyat agar mentaati, dan berwenang memberikan sanksi jika rakyat yang tetap membangkang sebagai bentuk kemaksiatan rakyat kepada syariat.
Keenam, dalam sistem pemerintahan Negara mengadopsi sistem sentralisasi kekuasaan sehingga Negara menjadi kuat. Dalam urusan administrasi dan pelayanan rakyat, negara mengadopsi desentralisasi layanan sehingga pelayanan yang diberikan negara sejalan dengan apa yang dikehendaki rakyat.
Ketujuh, ekonomi diatur berdasarkan syariat sehingga tak ada celah bagi oligarki untuk menjadikan negara sebagai alat untuk memuluskan kepentingan bisnis oligarki. Negara menjadi pihak regulator, yang memungkinkan individu dan jamaah berproduksi sesuai aturan syariat dan memenuhi hajat berdasarkan apa yang ditetapkan syariat.
Kedelapan, perbedaan pandangan antara rakyat dan negara ditempuh dengan musyawarah dan mufakat. Saat negara mampu dipahamkan atas kekeliruan kebijakannya, maka Negara (Khalifah) langsung menganulir atau merevisi kebaikannya. Saat rakyat memahami kekeliruannya dalam memandang kebijakan Negara, maka rakyat segera memberikan ketaatan kepada Negara (Khalifah).
Kesembilan, jika terdapat perselisihan antara rakyat dengan Negara, baik berkaitan dengan perbedaan pandangan tentang hukum syariat, atau perbedaan pandangan tentang kemaslahatan dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan Negara, maka semuanya diserahkan kepada Mahkamah Madzalim. Mahkamah akan mengadili sengketa antara rakyat dan penguasa, sekaligus memberikan vonis yang mengikat bagi keduanya.
Itulah, diantara sekelumit konsepsi Khilafah yang jika diterapkan akan menjadikan Negara dan Rakyat kuat. Tak ada lagi ada pertentangan antara rakyat dengan negara. Keduanya, bahkan saling berseberangan untuk bersama-sama merealisasikan tujuan bernegara, yakni menerapkan hukum Allah SWT dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama.
Konsepsi ini adalah jawaban dari kegelisahan umat. Juga, untuk merealisasikan visi yang ditulis oleh Harus Rusly Moti, yang saya kutip pada paragraf pembuka artikel ini. Semoga, semakin banyak elemen anak bangsa yang terbuka mendiskusikan Khilafah. [].
0 Komentar