
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Setelah tekanan publik begitu dahsyat, sehingga rezim tak mungkin mengangkat narasi 'Korban' sebagai pelaku 'Penganiayaan' dan mengangkat 'pelaku kejahatan sebagai pahlawan'. Akhirnya satus Tersangka dicabut, dan publik dapat memahami ada nuansa kasus matinya 6 anggota laskar FPI oleh tembakan anggota Polda Metro Jaya terpaksa harus sampai di pengadilan.
Terlepas, apakah pelaku penembakan adalah pelaku sesungguhnya, terlepas tidak semua pelaku diungkap, terlepas hukuman nantinya akan ringan karena tidak digunakan ketentuan UU No 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM yang ketentuan pidana untuk pelanggaran HAM berat berupa pidana mati, yang jelas kasusnya sudah diadili dan divonis.
Setelah divonis, juga terlepas apakah pelaku menjalani hukuman atau tidak, karena tujuan utamanya vonis ini akan dijadikan sebagai 'Tameng' atas tuntutan pertanggungjawaban terhadap peristiwa sadis, berupa tewasnya 6 anggota FPI oleh tembakan petugas kepolisian. Jika masih ada yang menuntut, rezim dengan mudahnya menyatakan perkara sudah diadili.
Jika vonis tidak memuaskan, Rezim juga akan berdalih itu kewenangan pengadilan, semua pihak harus menghormati putusan pengadilan. Dan akhirnya...Case Closed.
Pola penyelesaian kasus semacam ini, persis seperti apa yang terjadi pada kasus penyerangan air keras terhadap Pendidik Senior KPK, Novel Baswedan. Saat itu, publik riuh ramai menuntut proses hukum, hingga setahun lebih perkara menggantung.
Atas adanya perubahan kepemimpinan di tubuh Polri, tiba-tiba ditemukan Tersangkanya. diadili, dan divonis ringan. setelah itu, Case Closed. tidak ada lagi ribut-ribut kasus Novel Baswedan.
Padahal, dalam kasus Novel Baswedan tidak ada satupun orang yang dapat meyakini, apakah benar pelakunya yang melakukan penyiraman air keras? apakah benar, berhenti pada dua pelaku dan tidak ada rantai komando, karena pelaku adalah anggota Polisi. Apakah pelaku benar-benar menjalani putusan pidana penjara? yang jelas, proses hukum di persidangan telah mampu menghentikan tuntutan publik. Case Closed.
Pada kasus 6 anggota FPI, arahnya terlihat sama. Yang penting diproses, yang penting ada Tersangkanya, yang penting di vonis. Setelah itu, Case Closed.
Tak perlu peduli, apakah pelaku benar benar aktor di lapangan, tak penting apakah ada rantai komando yang diputus, tak ada urusan vonis nantinya ringan, bahkan tak penting lagi apakah publik tahu pelaku benar benar dieksekusi vonisnya. Target utama proses hukum bukan menegakkan keadilan, tapi dalam rangka menutup perkara, mengentikan tuntutan publik, menutup ribut ribut sosial media. Case Closed.
Itulah, skenario yang mampu terbaca. Kasus 6 anggota FPI akan di 'Novel Baswedan kan'. Kasus akan ditutup dengan putusan pengadilan. Setelah itu, tak ada lagi tuntutan kepada rezim, kalau masih ada yang menuntut, rezim dengan mudahnya akan menjajakan narasi 'Hormati Putusan Pengadilan'.
Demikianlah, hukum yang tidak ditegakkan berdasarkan hukum Allah SWT. Prosesnya panjang dan melelahkan, hasilnya tidak memberikan keadilan.
Andai saja hukum Islam yang ditegakkan, simpel dan memberikan keadilan. Tak perlu sibuk membuat klasifikasi perkara sebagai Pelanggaran HAM berat baru bisa dihukum mati.
Dalam Islam, pelaku kejahatan pembunuhan dihukum Qisos yakni disanksi dengan dibunuh. Itulah keadilan bagi keluarga korban, bagi pelaku, dan bagi masyarakat.
Bagi keluarga, hukuman mati akan mengkompensasi batin keluarga yang dizalimi. Bagi pelaku, hukuman mati dapat menjadi penebus dosa akibat kejahatan pembunuhan yang dilakukannya. Bagi masyarakat, sanksi tegas memberikan efek perlindungan bagi masyarakat atas ancaman kejahatan pembunuhan. orang akan takut melakukan pembunuhan, karena tahu sanksinya akan dibalas bunuh.
Itulah keadilan hukum Islam. Apakah hukum jahiliah yang hendak kalian ambil ? dan hukum siapa kah yang lebih adil dari hukumnya Allah SWT?
Karena itu, mari kembali pada syariat Islam. Mari berjuang, menegakkan Khilafah. [].

0 Komentar